SMKAA-Tanggal 17 Agustus merupakan hari dimana Indonesia merdeka sepenuhnya dari peristiwa penjajahan yang sudah dialami oleh rakyat di Nusantara. Yang mana melalui perang melawan penjajah hingga melalui diplomasi secara dunia yang bertujuan untuk satu Indonesia Merdeka. Simak selengkapnya dibawah berikut;
Proklamasi.
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta , 17 Agustus 1945.,
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, presiden pertama Indonesia saat itu Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Namun, bukan berarti Indonesia sepenuhnya bebas dari ancaman negara lain disebabkan di bulan yang sama dimana pada saat Sekutu telah menang dalam Perang Dunia ke-II, Amerika Serikat selaku anggota darinya menyatakan bahwa setelah Perang Dunia usai maka semua wilayah yang telah diambil oleh Jepang akan diserahkan kembali kepada negara penjajah, maka dari situlah hampir beberapa negara termasuk Indonesia mengalami ancaman bahwa Belanda dan beberapa negara koloni akan datang kembali ke wilayah yang akan dijajah termasuk Indonesia. Menurut Wikipedia, Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara sekutu sepakat untuk mengembalikan wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing, bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukanya. Maka Indonesia mengalami ancaman adanya kedatangan tantara Belanda yang dinamakan Nederlands Indie Civil (NICA) dan yang mengerikan adalah Belanda ditemani oleh sekutu yang menjadikan perang lebih hebat dan tentu Inggris yang menemaninya.
Sebenarnya, Inggris sempat tidak mau ikut perang melawan Indonesia disebabkan menurut buku perjanjian Roem-Royen dimana Inteligen Inggris yang menyamar menjadi orang biasa pada saat datang ke Jakarta disebut Indonesia sudah memiliki negara sendiri dan Pemerintah sendiri. Inggris tidak mau menyerang dan sempat ingin mengajak kerjasama dengan pemerintahan Soekarno. Sayangnya, karena provokasi dari Belanda, menurut buku Perjanjian Roem-Royen bahwa Belanda mengatakan, negara Indonesia hanyalah pemberontak kecil saja yang pada akhirnya Inggris terpengaruh dengan pernyataan tersebut, dan Belanda bersama Sekutu menyerang Indonesia seperti yang dikenal ada Pertempuran Surabaya, Bandung Lautan Api, dan lainnya. Sehingga, Indonesia terpaksa kembali berperang melawan mereka dengan pertumpahan darah dan tak lupa adanya peran diplomasi pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Awal Peran Indonesia Dalam Dunia Diplomasi
Ternyata selain, Indonesia perang senjata untuk mempertahankan kemerdekaannya, diplomasi juga menjadi senjata untuk melawan penjajah dan dapatnya sebuah dukungan dari dunia internasional. Menurut KompasKedua.com, dua hari setelah kemerdekaan, kabinet pertama Republik Indonesia dibentuk. Kabinet pertama ini meliputi 19 menteri, salah satunya Kementerian Luar Negeri dimana Ahmad Soebardjo tercatat sebagai Menteri Luar Negeri pertama (2 September 1945 — 14 November 1945).
Kabinet ini tak bertahan lama, sejak 14 November 1945, terjadi perubahan yang memunculkan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet II RI. Perubahan ini termasuk perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke bentuk ministerial. Sejak itu Pemerintah RI menempuh kebijakan politik diplomasi untuk berunding dengan Belanda.
Perundingan pertama terjadi pada 17 November 1945, di markas besar tentara sekutu di Jakarta. Perundingan ini berlanjut dengan pengiriman misi diplomatik pertama Indonesia ke Belanda yang dimulai pada 14 April 1946, di sebuah tempat bernama Hoge Veluwe. Misi tersebut menjadi salah satu awal rangkaian perundingan panjang antara Indonesia – Belanda. Jadi, tujuan diplomasi pun agar dunia internasional tetap mengakui bahwa Indonesia adalah sebuah negara dan Belanda merupakan negara yang ingin merebut hak negara lain. Sehingga, tepat pada tahun 1946 – 1947, muncul sebuah perjanjian pertama antara Indonesia dengan Belanda yang disebut Perjanjian Linggarjatiyang bertujuan untuk mengakui adanya Republik Indonesia beserta wilayahnya dari Belanda. Namun beribu sayang, ternyata pengakuan yang dimaksud tidak semua wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, melainkan hanya wilayah Jawa, dan Sumatera saja.
Sedangkan, wilayah lain tetap dibawah otoritas Belanda dan dengan adanya perjanjian ini membuat banyak pihak khawatir bahwa diplomasi ini akan mendapatkan keuntungan bagi Belanda sedangkan Indonesia mendapatkan kerugian. Setelah membuat Kabinet Perdana Menteri Sutan Sjahrir terpaksa turun akibat adanya kudeta yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli 1946, oleh kelompok oposisi yakni Persatuan Perjuangan. Pada akhirnya, kudeta itupun dapat digagalkan oleh Pemerintah sehingga para pencetus serta anggota-anggotanya ditangkap. Namun, hal positifnya menurut Gramedia adalah,dengan adanya perjanjian ini membuat Indonesia diakui oleh beberapa negara di dunia yang mana dengan pengakuan internasional atas kemerdekaan, otomatis Indonesia mendapatkan dukungan dunia dalam melawan penjajahan termasuk hak asasi manusia dan adanya perjanjian ini menciptakan adanya Negara Indonesia Serikat (NIS) yang disepakati antar kedua belah pihak.
Sebagai tambahan, sebelum adanya perjanjian Linggarjati, sempat adanya perundingan Philip Christison adalah perundingan yang digagas oleh dirinya sendiri, panglima perang Allied Forces Netherlands East Indies (ANFEI). Perjanjian antara Belanda dan Indonesia ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 1946. Saat itu, pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir. Sedangkan Belanda diwakili oleh Hubertus Julius Van Mook. Dalam perundingan tersebut, dibahas tentang bentuk negara dan daftar wilayah yang dapat dimasukkan ke dalam negara Indonesia. Perundingan tersebut tidak mendapatkan hasil yang konkret. Hal itu disebabkan oleh kurangnya persiapan dari pihak Indonesia maupun Belanda.
Perjanjian Linggarjati pun termasuk adanya gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Menurut Detikcom, Belanda mengingkari perjanjian tersebut yang menyebabkan munculnya agresi II untuk meredup Republik Indonesia. Setelah Perundingan Linggarjati, Belanda justru melanggar perjanjian tersebut dengan melakukan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Mereka menyerang sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Hingga, pada akhirnya muncul Perjanjian Renville. Menurut Detikcom, meskipun Belanda melakukan agresi militer kepada Indonesia, Tindakan tersebut mendapat kecaman dari dunia internasional. Lalu PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan permasalahan Indonesia – Belanda. Anggota KTN terdiri dari Australia (Richard C. Kirby), Belgia (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat (Prof Dr Frank Graham).
Indonesia dan Belanda kemudian kembali ke meja perundingan untuk kedua kalinya yang disebut sebagai Perjanjian Renville. Perundingan ini dilakukan di kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 8 Desember 1947 – 18 Januari 1948. Sebagai tambahan yang mana menurut Gramedia, Agresi Militer Belanda I memaksa Indonesia meminta bantuan internasional. Dewan Keamanan PBB menengahi dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) atau Good Offices Committee (GOC). Indonesia menunjuk Australia sebagai perwakilan, Belanda menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda. Pada 26 Oktober 1947 KTN datang ke Indonesia untuk mengatasi sengketa Indonesia – Belanda. Para anggota Komisi adalah Hakim Richard C. Kirby (Australia), mantan Perdana Menteri Paul van Zeeland (Belgia), dan Rektor University of North Carolina Dr. Frank B. Graham (AS).
Masa Perjuangan Indonesia Dalam Dunia Diplomasi
Setelah kedatangan KTN di Indonesia, Amerika Serikat mempertemukan Indonesia dan Belanda pada 8 Desember 1947, di kapal perang USS Renville yang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri dari Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Mr. Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Dr. Leimena, Mr. Latuharhary, dan Kolonel T.B. Simatupang. Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Perundingan di atas kapal perang Renville menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah RI. Indonesia dan Belanda menyetujui sebuah garis yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, serta TNI harus ditarik mundur dari daerah – daerah kantongnya di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada 17 Januari 1948, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani naskah perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Renville. Namun sayang, hasil Perjanjian Renville menyulut kemarahan besar di kalangan republik terutama militer. Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, Kepala Staf Umum TNI, tidak bersedia menerima hasil perjanjian tersebut dan mengundurkan diri dari jabatannya. Perjanjian Renville bagi militer Indonesia dinilai sangat merugikan karena Republik Indonesia kehilangan banyak wilayah, terutama di Sumatera yang memiliki banyak perkebunan subur.
Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dari jabatannya pada 23 Januari 1948, setelah menerima banyak kritik atas persetujuannya di perjanjian Renville. Mohammad Hatta ditunjuk oleh Soekarno sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan untuk mengisi kekosongan. Kabinet Hatta dilantik pada 29 Januari 1948.
Selain melanjutkan Perjanjian Renville, Kabinet Hatta melakukan re-organisasi dan rasionalisasi dengan membubarkan laskar-laskar tentara rakyat dan menarik tentara-tentara terbaiknya ke dalam TNI. TNI menjadi semakin mudah bergerak dengan persenjataan dengan orang-orang terbaik.
Selepas Perjanjian Renville kekacauan terjadi di internal RI. Dalam periode ini, muncul berbagai pemberontakan dan negara-negara boneka yang pro Belanda. Pada saat bersamaan, perundingan antara Indonesia – Belanda yang difasilitasi oleh KTN terus berlangsung. Mencermati gerak-gerik Belanda sejak Agresi Militer I, para pimpinan militer Indonesia memprediksi bahwa Belanda akan tetap berusaha menguasai Indonesia.
Meskipun sering adanya pelanggaran yang dilanggar oleh Belanda, bukan berarti Indonesia menyerah disebabkan Agus Salim sebagai diplomat dari Indonesia gencar dalam melakukan misi diplomatik yang mana menurut Kompas.com; pemerintah Indonesia menunjuk Agus Salim sebagai ketua dalam misi diplomatik Indonesia ke negara Arab pada bulan April – Juli 1947.
Misi diplomatik Indonesia di negara-negara Arab bertujuan untuk menghimpun pengakuan kemerdekaan untuk Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki kepentingan untuk menjalin hubungan baik demi menghadapi sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947. Pada perkembangannya, Agus Salim berhasil memimpin tim delegasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. Keberhasilan misi diplomatik Indonesia di negara-negara Arab tidak terlepas dari kemampuan penguasaan bahasa Arab serta keahlian argumentasi Agus Salim. Kembali lagi dengan perjanjian, pada tahun 1947 akhirnya memunculkan perjanjian Roem-Royen dan adanya Resolusi PBB yang mana masih menurut Gramedia, Kekhawatiran akan adanya serangan Belanda pun terjadi. Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangan ke bandar udara Maguwo, Yogyakarta. Belanda menyatakan tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Serangan terhadap seluruh wilayah RI di Jawa, Sumatera, dan Ibukota Yogyakarta ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II (19 – 20 Desember 1948).
Aksi Belanda menyerang RI mendapat kecaman dari banyak negara di dunia. Satu hari setelah serangan Belanda, pada 20 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB segera memulai persidangan di Lake Succes, dekat kota New York, Amerika Serikat, dan dilanjutkan dengan sidang di Paris, Perancis pada 22 Desember 1948.
Setelah melalui serangkaian perdebatan dan penolakan dari wakil Belanda, Dewan Keamanan PBB menerima usulan yang diajukan oleh Amerika Serikat, Kuba, Norwegia, dan China. Usulan keempat negara tersebut ditetapkan sebagai Resolusi PBB No. 67, tanggal 28 Januari 1949. Isi resolusi tersebut, antara lain, menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dan menyerahkan kedaulatan kepada RI.
Belanda menolak resolusi PBB hingga Dewan Keamanan PBB harus mengambil sikap tegas dua bulan setelah resolusi dikeluarkan. Pemerintah Indonesia dan Belanda harus segera melakukan perundingan pada tanggal 30 Maret 1949. Namun, Pemerintah Indonesia bersikeras, para pemimpin RI harus kembali ke Yogyakarta dan Pemerintah RI harus dipulihkan. Belanda pun masih enggan berkompromi dan mengajukan berbagai syarat. Situasi ini menimbulkan kebuntuan sehingga memerlukan berbagai pendekatan (lobby) lewat pertemuan pendahuluan sebelum penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Salah satu pertemuan pendahuluan adalah Perjanjian Roem-Royen. Roem-Royen diambil dari nama masing-masing delegasi Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman van Roijen (Royen) dari Belanda. Pertemuan ini berlangsung selama satu bulan sejak 14 April 1948 hingga penandatanganan pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Perundingan menghasilkan kesepakatan antara lain pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta, pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta, dan Konferensi Meja Bundar diusulkan di Den Haag, Belanda.Menurut Talentapedia, Setelah Belanda menerima perintah PBB agar menghentikan agresinya dan kembali ke meja perundingan. Untuk mengawasi jalannya perundingan, PBB membentuk UNCI (United Nations Comission for Indonesia).
Perundingan ini berjalan berlarut-larut hingga akhirnya ditandatangani pada 7 Mei 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem dan Belanda dipimpin oleh dr. Van Royen sebagai penengah adalah UNCI sehingga menghasilkan sebagai berikut;
Indonesia menyatakan:
- Mengeluarkan perintah kepada pegikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
- Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
Belanda menyatakan:
1. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
2. Menjamin Penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara yang ada di daerah yang dikuasai RI sebelum 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat, berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Setelah adanya Perjanjian tersebut tepat sebelum adanya Konferensi Meja Bundar (KMB), Kedua belah pihak sempat mengadakan Konferensi yang dikenal Konferensi Inter – Indonesia (KII) yang mana masih menurut Gramedia, Perjuangan diplomasi Indonesia untuk terbebas dari Belanda mencapai babak akhir pada KMB (23 Agustus 1949 – 2 November 1949). Indonesia menyadari harus menyelesaikan masalah internalnya sendiri yang terpecah setelah Perundingan Linggarjati dan Renville sebelum memasuki tahapan KMB.
Perundingan intensif terjadi antara Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Pembentukan BFO diprakarsai oleh Ide Anak Agung Gde Agung pada Juli 1948, yang bertujuan ikut mencari jalan keluar penyelesaian konflik antara Indonesia – Belanda.
Perundingan antara Indonesia dan BFO kemudian dikenal dengan Konferensi Inter – Indonesia (KII) yang berlangsung dua kali. Konferensi pertama berlangsung di Yogyakarta pada 19–23 Juli 1949, dan konferensi kedua berlangsung setelah jeda Idul Fitri, di Jakarta pada 31 Inter – 2 Agustus 1949.
Pertemuan ini merupakan wadah untuk menyatakan pendapat dan membuat kesepakatan bersama di internal RI sebelum KMB. Salah satu kesepakatan yang dihasilkan, antara lain, untuk bersatu mendirikan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Berbekal keputusan KII, delegasi BFO dengan pimpinan Sultan Hamid II, dan delegasi RI dengan pimpinan Mohammad Hatta berangkat ke Den Haag untuk menghadiri KMB. Selain delegasi Belanda, juga hadir anggota UNCI (United Nations Commission for Indonesia) sebuah komisi PBB untuk Indonesia yang dibentuk menggantikan KTN. Lalu menurut Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Konferensi Inter Indonesia adalah konferensi yang dilakukan antara Negara Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO/Badan Permusyawaratan Federal). BFO merupakan sebuah badan yang merupakan kumpulan negara-negara bagian bentukan Belanda. Saat itu, di Indonesia ada banyak negara bentukan Belanda. Belanda memiliki maksud khusus dalam pembentukan negara BFO. Belanda bermaksud menguasai kembali Indonesia.
Negara bentukan itu terdiri dari 16 negara dan dibagi ke dalam tiga kawasan kekuasaan. Daerah kekuasaan pertama yaitu mencakup Pasundan, Indonesia, Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Madura, Sumatera Selatan, dan Sumatera Timur. Daerah kekuasaan kedua meliputi Riau, Jawa Tengah, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Kaltim, Kalbar, Kalteng, Banjarmasin. Sedangkan daerah kekuasaan ketiga terdiri dari wilayah Indonesia yang tidak masuk ke dalam negara bagian. Konferensi Inter Indonesia adalah konferensi yang melibatkan pemerintah Republik Indonesia dan BFO. Konferensi Inter Indonesia I dan Konferensi Inter Indonesia II merupakan momentum penting untuk menciptakan kesamaan pandangan dalam menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi tersebut diselenggarakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta. Konferensi Inter Indonesia I di Yogyakarta dipimpin oleh Mohammad Hatta. Konferensi Inter Indonesia II dipimpin Sultan Hamid selaku ketua BFO.
Sedangkan wakil negara-negara bagian dipimpin Gubernur Jenderal Belanda Hubertus Johannes Van Mook. Fokus pembicaraan dalam Konferensi Inter Indonesia ini terkait pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Persoalan yang dibahas antara lain tata susunan dan hak pemerintah RIS. Selain itu, kerja sama antara RIS dan Belanda dalam bentuk Perserikatan Uni. Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta berhasil menyepakati lima hal. Pertama, Negara Indonesia Serikat akan diberi nama Republik Indonesia Serikat. Kedua, Merah Putih adalah bendera kebangsaan. Ketiga, Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan. Keempat, bahasa nasional adalah Bahasa Indonesia. Kelima, 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan. Secara umum, hasil yang disepakati dalam Konferensi Inter Indonesia I ini merupakan penekanan dari konsensus nasional sejak 17 Agustus 1945.
Konsesnsus nasional itu diimplementasikan dalam perjuangan bangsa. Konferensi Inter Indonesia I di Yogyakarta usai, dilanjutkan Konferensi Inter Indonesia II di Jakarta. Konferensi ini bertempat di Gedung Pejambon, Jakarta. Ada sejumlah kepekatan penting yang berhasil dicapai. Salah satunya BFO mendukung penuh tuntutan yang diajukan Republik Indonesia, atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan politik ataupun ekonomi. Konferensi juga memutuskan sejumlah hal penting lainnya. Ada tiga keputusan terkait bidang militer atau pertahanan. Pertama, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional. Kedua, TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima orang – orang Indonesia yang ada dalam KNIL, dan kesatuan – kesatuan tentara Belanda lain dengan syarat yang akan ditentukan lebih lanjut. Ketiga, pertahanan negara adalah semata-mata hak Pemerintah RIS, negara – negara bagian tidak mempunyai angkatan perang sendiri. Setelahnya, Konferensi yang menjadi puncak dalam perjuangan Dunia Diplomasi yaitu Konferensi Meja Bundar.
Akhir Perjuangan Indonesia Dalam Dunia Diplomasi
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah konferensi atau pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. KMB atau atau De Ronde Tafel Conferentie (RTC) resmi dibuka pada 23 Agustus 1949. Perundingan berjalan alot dan lambat. Dalam KMB ketiga delegasi dibagi dalam Steering Committee (panitia pengarah), yang dibantu oleh tiga panitia kecil khusus membahas UUD, Irian Barat, NIS, dan swapraja (wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri). Anggota lainnya dibagi dalam empat panitia untuk membicarakan bidang-bidang ekonomi dan keuangan, militer, kebudayaan, dan sosial.
Perundingan yang memakan waktu lama menimbulkan spekulasi-spekulasi di kalangan pers di Indonesia, bahwa KMB kemungkinan besar gagal. Namun, delegasi RI maupun delegasi BFO mengirim masing-masing utusan ke Yogyakarta dan Makasar untuk menjelaskan kepada parlemen RI (KNIP) dan Dewan Perwakilan Sementara NIT, bahwa spekulasi yang beredar itu tidak benar.
Salah satu masalah yang menyebabkan kebuntuan dan nyaris menggagalkan KMB adalah persoalan Irian Barat. Belanda bersikeras Irian Barat tetap di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, dengan alasan secara etnologis orang Irian tidak termasuk orang Indonesia. Sementara itu, pertimbangan Indonesia berdasar Persetujuan Linggarjati yang telah ditetapkan bahwa Negara Indonesia Serikat yang berdaulat mencakup seluruh bekas Hindia Belanda.
Dalam kebuntuan perundingan, Hatta menyampaikan usul yang dapat diterima oleh Belanda, yakni Irian Barat tetap di pangkuan Belanda tetapi dalam waktu satu tahun kedua belah pihak dapat merundingkannya kembali. Hatta menginginkan usulan tersebut disampaikan oleh UNCI. Perwakilan UNCI pun setuju dan menyampaikan kepada KMB usulan tersebut tanpa memberi tahu asal-usulnya. Kesepakatan pun terjadi, KMB ditutup pada 2 November 1949 dengan keberhasilan diplomasi Indonesia.
Hasil KMB, antara lain, Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Republik Indonesia Serikat pada Desember 1949, antara RIS dan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda, Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan membayar utang Hindia Belanda sebelum 1949, dan masalah Irian Barat akan dirundingkan satu tahun setelah pengakuan RIS.
Penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia dilaksanakan pada 27 Desember 1949 di Istana Dam, di Amsterdam, Belanda. Dalam upacara itu, ditandatangani tiga dokumen oleh Ratu Juliana dan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Dokumen itu berisi, antara lain; pernyataan menerima seluruh hasil KMB dan Piagam Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat.
Dapat disimpulkan bahwa perjuangan diplomasi banyaklah tantangan yang perlu dihadapi hingga sampai Indonesia Merdeka dan salah satu diplomasi Indonesia yang dapat mengubah pikiran dunia adalah Konferensi Asia Afrika yang membuat negara-negara yang pada awalnya saling bersitegang menjadi bersatu dalam satu gerakan, yaitu perdamaian dunia sebagaimana isi dari proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Penulis: Edukator/Senore Arthomy Amadeus
Editor: JT/Cellinda Utami Koesuwandani