Pagi hari itu cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati pemuda yang sedang melamun di tepian danau. Dahinya mengernyit cukup lama sehingga membuat alis tebalnya tampak hampir menyatu. Tubuhnya yang tinggi, ia sandarkan di pagar pembatas, sedangkan tangannya menopang dagu sambil memasang wajah penuh kebingungan.
“Alam? Sudah menemukan jawabannya?”
Pertanyaan tersebut keluar dari mulut Ardi, lelaki dengan perawakan kekar dan berkulit coklat. Ia mulai muak melihat temannya yang sejak dari tadi hanya diam tidak berkata-kata.
“Gimana kalo kita coba ke posyandu? Bukannya lebih tepat kalo masyarakat, khususnya para calon ibu, dikasih edukasi terlebih dahulu terkait pentingnya membaca buat tumbuh kembang anaknya?” Meskipun ragu, tapi sepertinya itu adalah jawaban terbaik yang bisa Alam berikan.
Tentu saja dia berkata demikian bukan tanpa alasan. Sebagai seseorang yang sedang memiliki rencana untuk meningkatkan minat baca, dia dan teman-temannya harus rajin membaca dan mencari referensi yang sekiranya bisa dia praktikkan secara langsung di lapangan. Alam mendapat ide tersebut dari artikel yang tadi pagi baru dibacanya melalui aplikasi. Dia setuju dengan pendapat Dokter Ryu Hasan yang menjelaskan bahwa untuk meningkatkan minat baca itu tidak cukup hanya dengan menasihati atau memberi motivasi tentang pentingnya membaca, melainkan harus dibiasakan. Dan kebiasaan itu haruslah dimulai sejak dini.
“Meskipun lewat lapak baca buku gratis yang kita lakuin tiap minggu di taman dan alun-alun dapet respons yang cukup baik, tapi gue ga yakin kalo anak-anak tersebut juga bakal ngelakuin hal yang sama setelah pulang. Mungkin di hari itu iya mereka tertarik, tapi ga ada yang menjamin kalo setelahnya kebiasaan itu bener-bener bisa diterapkan. Karena bisa jadi itu cuman euforia sesaat aja.” Lanjut Alam menjelaskan apa yang ada dipikirannya.
“Oke, gue setuju sama ide lo kali ini. Besok kita diskusikan langsung sama yang lain.” Ujar Ardi setuju.
Alam dan Ardi adalah salah satu anggota organisasi yang menaungi masalah literasi di kotanya. Selain rutin mengadakan pertemuan yang mempelajari pengetahuan terkait dengan literasi, mereka juga memiliki tugas untuk meningkatkan minat baca di kota tersebut. Meskipun belum tentu akan berdampak besar, tapi mereka yakin bahwa setiap langkah kecil yang mereka ambil tidak akan sia-sia.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia literasi, mereka tahu betul betapa kompleksnya permasalahan minat baca di negara ini. Masalahnya tidak sesederhana karena kurangnya persediaan atau akses terhadap buku dan perpustakaan, melaikan juga berkaitan dengan masalah ekonomi, terutama bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan untuk mengakses apa pun. Jangankan membaca buku, untuk urusan makan saja mereka harus bekerja keras sampai lupa waktu. Jika sudah seperti ini, mau sebanyak apa pun buku yang disediakan tidak akan membuat mereka seketika sadar akan pentingnya membaca. Karena sebelum memulai kebiasaan, hal pertama yang harus kita tanamkan adalah kesadaran.
Kesadaran itu tentunya harus dibentuk. Salah satunya adalah dengan cara memberi edukasi bahwa dengan membaca, mereka akan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, dan lewat pengetahuan itulah mereka mampu mengubah nasib dan masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata yang menyatakan “membaca merupakan jembatan ilmu” itu benar adanya. Dengan membaca kita mampu lebih mengenal dunia, membuka pandangan dan menambah pengetahuan baru hingga memunculkan minat dan motivasi kita terhadap sesuatu. Namun untuk menumbuhkan kesadaran ini tentunya bukanlah sesuatu yang mudah, kita memerlukan bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak untuk bisa mewujudkannya. Untuk hal ini, peran orangtua sangatlah penting karena mereka merupakan orang pertama yang membentuk karakter sekaligus menentukan akan ke arah mana masa depan anak-anaknya.
***
Keesokan harinya, Alam dan Ardi datang ke gedung LPI (Literasi Pemuda Indonesia) untuk berkumpul dan berdiskusi dengan anggota yang lain. Diskusi tersebut dibuka oleh Nisa, seorang perempuan cerdas dan berparas cantik yang merupakan koordinator dari organisasi tersebut. Sebagai organisasi di bawah naungan pemerintah setempat, LPI ini memiliki cukup banyak anggota yang terdiri dari berbagai macam latar belakang tanpa memandang usia.
Diskusi selalu berjalan dengan interaktif seperti biasanya, setiap anggota sangat terbuka dan menghargai pendapat satu sama lain dengan positif dan antusias. Alam, yang sudah memiliki berbagai macam ide di kepalanya sudah tak tahan untuk ikut berbicara dan mengeluarkan pendapatnya.
“Terkait dengan program kita untuk meningkatkan minat baca, saya memiliki ide baru yaitu dengan mencoba menambah sasaran kita yang awalnya hanya berfokus pada anak-anak sampai remaja menjadi kepada para calon orangtua yang akan segera memiliki anak.” Alam menjelaskan dengan penuh percaya diri terkait idenya tersebut.
“Menurut saya minat baca harus ditumbuhkan sedini mungkin, bahkan sejak bayi di dalam kandungan. Caranya bisa dimulai dengan membuat para calon orang tua khususnya ibu, membiasakan membaca dan menceritakan bacaan kepada anaknya. Dengan begitu, kemungkinan seorang anak tertarik dan menganggap bahwa membaca merupakan bagian dari kebutuhan dirinya akan semakin besar. Hal tersebut juga bisa membuat anak merasa bahwa membaca bukanlah sesuatu yang asing lagi karena itu sudah menjadi bagian dari kebiasaannya.”
“Ide yang sangat menarik, Alam. Lalu upaya apa yang sekiranya dapat kita lakukan untuk mewujudkan hal tersebut?” Tanya Nisa menanggapi pendapat Alam.
“Kita bisa mulai dengan melakukan kunjungan ke posyandu untuk memberikan edukasi terkait pentingnya membaca kepada masyarakat khususnya para calon orang tua. Memberi mereka pinjaman buku yang mereka sukai, kemudian memberikan bantuan berupa buku-buku untuk dipinjamkan juga kepada para ibu yang sudah memiliki anak, di mana jenis buku yang dipinjamkan harus disesuaikan dengan umur anaknya. Untuk bayi usia 0-3 bulan kita bisa memberikan pinjaman buku high contrast yang menampilkan gambar dan grafik berkontras tinggi, hal ini bertujuan untuk merangsang indra pada bayi. Sedangkan untuk bayi umur 4-6 bulan, kita bisa memberi pinjaman buku taktil atau yang memiliki tekstur. Lalu untuk bayi umur 6-12 bulan kita sediakan boardbook yang menarik. Kemudian untuk bayi diatas 1 tahun mulai diberi buku klasik yang bisa dibacakan oleh para orangtua secara rutin setiap harinya. Selanjutnya para orangtua bisa memulai membacakan buku pengantar tidur atau buku lainnya yang dinilai mampu menciptakan ikatan antara orangtua dan anak serta berdampak pada ketertarikan anak pada buku.”
Nisa, Ardi dan para anggota yang lain cukup puas dengan penjelasan dan rencana yang telah disusun secara matang oleh Alam. D\engan berbagai pertimbangan, ternyata kebanyakan anggota setuju dengan ide tersebut. Tanpa ingin membuang waktu lebih lama, semua anggota mulai sibuk dengan tugasnya masing-masing untuk melaksanakan program tersebut. Dengan euforia dan semangat yang membara, semua tampak baik-baik saja pada awalnya. Hingga sampailah pada hari dimana Nisa memberi konfirmasi bahwa pemerintah setempat kurang setuju dengan ide tersebut karena dinilai akan mengeluarkan banyak biaya yang melebihi anggaran.
Alam hanya bisa tertegun mendengar hal tersebut. Pikirannya yang sedang membayangkan kemungkinan jika program tersebut berjalan dengan baik tiba-tiba buyar, khayalan tentang berhasilnya anak-anak tumbuh menjadi generasi yang gemar membaca perlahan kabur dibawa terbang oleh kekecewaannya. Alam merasa putus asa karena jika permasalahannya sudah berkaitan dengan biaya, dia menyadari bahwa dirinya tidak bisa banyak membantu.
***
Alam sedang termenung memandangi langit-langit kamar ketika ponselnya berdering pertanda ada panggilan masuk. Nama Ardi tertera di sana.
“Halo? Alam? Lo udah lihat pengumuman di grup kalo program kemarin ga di ACC pusat?” Tanya Ardi tanpa basa-basi.
“Udah, baru aja. Dan jujur aja sekarang gue bingung harus gimana.” Kekhawatiran Alam nampaknya langsung bisa ditangkap oleh Ardi. Bagaimana tidak, mereka berteman sudah cukup lama jadi sedikit banyaknya mereka memahami karakter satu sama lain. Alam yang terlalu pemikir seringkali terjebak oleh pikirannya sendiri, untunglah ada Ardi yang selalu mengingatkan dan menyadarkan bahwa apa yang terjadi seringkali tidak seburuk seperti yang sudah dia pikirkan.
“Gini Al, gue paham kalo lo ngerasain hopeless sekarang. Tapi jangan nyerah dulu, okay? Gimana kalo kita coba tambahin sendiri dana yang kurang dan nanti minta pertimbangan lebih lanjut ke pusat? Kebetulan orangtua gue kan jualan tuh, kita bisa simpen buku-buku di sana buat dibaca secara gratis tapi tetap simpen semacam kotak sumbangan donasi gitu. Kan lumayan kalo ternyata banyak yang nyumbang.” Jawab Ardi menenangkan.
“Tapi kalo ternyata banyak yang ga nyumbang dan uangnya tetep ga cukup gimana, Di?”
“Udah ga usah terlalu khawatir, cobain dulu aja. Niat kita kan baik nih, kalo emang udah jalannya pasti Allah bantu kok. Lo tinggal usaha, berdoa dan berpikir positif kalau Allah pasti bantu dan bakal kasih yang terbaik. Kalaupun ternyata gak berjalan sesuai rencana kita, berarti nanti bakal ada rencana yang jauh lebih baik yang bakal Allah kasih ketika sudah waktunya.”
Seperti biasa, Ardi memang selalu penuh dengan energi positif dan rasa optimis yang tinggi. Terkadang Alam malu karena belum bisa mengendalikan pikirannya sebaik Ardi. Tapi perlahan-lahan Alam mulai mengubah pola pikirnya itu. Setelah mendapat wejangan tersebut, Alam mengikuti saran Ardi. Dia membuat kotak untuk donasi dengan kata-kata semenarik mungkin yang dapat menggugah masyarakat untuk ikut serta dalam program tersebut. Selain disimpan di tempat orangtua Ardi berjualan, dia juga menyimpan kotak tersebut di tempat lapak buku gratis.
Setelah berusaha semampu yang dia bisa, Alam mulai kembali mendekatkan diri dan membangun hubungan yang lebih baik dengan Sang Pencipta. Dia menyadari bahwa Tuhan yang memberi dia rezeki, jadi hanya kepada-Nya lah dia mampu meminta. Perlahan-lahan dia menjadi pribadi yang lebih rajin mengerjakan ibadah dan amalan sunnah. Dan semenjak itu juga berbagai macam bantuan pun mulai berdatangan. Melihat semangat dan usaha Alam, teman-temannya pun ikut membantu untuk membuka donasi. Ada yang ikut langsung terjun ke lapangan, ada juga yang menyebarkannya lewat berbagai media sosial.
Namun puncaknya adalah ketika ada seseorang yang tiba-tiba mendatangi Alam dan mengatakan bahwa dia bersedia menjadi donatur. Pria paruh baya itu mengatakan bahwa dirinya merupakan ayah dari seorang anak yang sering berkunjung ke lapak baca gratis yang Alam sediakan. Dia senang karena anaknya yang dulu suka bermain ponsel tanpa kenal waktu kini perlahan berubah menjadi pribadi yang suka membaca buku. Mendengar hal tersebut tentunya Alam juga senang bukan main! Dia tidak menyangka namun juga sangat bersyukur karena ternyata Tuhan mempermudah segala urusannya.
Tanpa berpikir panjang dia langsung menemui Ardi dan menyampaikan hal tersebut dengan penuh antusias. “Kita berhasil, Di. Akhirnya kita bisa mengusulkan kembali program itu karena dana yang terkumpul udah cukup.” Alam tidak henti-hentinya memasang senyum bahagia di wajahnya.
“Kalau gitu ayok kita kasih tahu Nisa supaya bisa segera berjalan programnya.” Jawab Ardi yang tidak kalah semangat.
***
Hari itu juga mereka datang ke LPI untuk memberitahu Nisa dan anggota lain tentang perkembangannya. Mereka setuju untuk mengajukan ulang program tersebut dengan dana yang sudah disiapkan sebagai bahan pertimbangan. Setelah beberapa hari menunggu kabar, akhirnya mereka diberi tahu bahwa pemerintah akhirnya setuju namun seperti kesepakatan awal bahwa mereka hanya akan memberikan dana sesuai dengan anggaran yang disediakan. Alam dan anggota yang lain tentunya tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena bagi mereka yang terpenting sekarang adalah mendapatkan izin untuk segera memulai program tersebut.
***
Sekarang sudah hampir dua tahun lebih semenjak program itu pertama kali dilakukan. Alam tersenyum lembut melihat keadaan di sekitarnya yang sudah berangsur-angsur berubah. Ketika pertama kali datang ke posyandu ini, hal yang menyita perhatiannya adalah semua orang yang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Namun sekarang semuanya sudah berbeda. Banyak orangtua yang menunggu sambil membaca buku atau bahkan mengenalkan buku pada anak-anak mereka. Pemandangan semacam ini mungkin hanya akan berada di pikirannya saja jika dua tahun yang lalu dia memilih menyerah. Beruntungnya dia dipertemukan dengan Ardi, Nisa dan banyak orang baik lainnya. Tanpa mereka dan pertolongan langsung dari Tuhan mungkin mimpi kecilnya ini tidak akan pernah jadi kenyataan. Alam sangat bersyukur atas segala apa yang menjadi nikmatnya hari ini. Semenjak kejadian itu dia berjanji untuk selalu menjadi pribadi yang optimis dan selalu berpikir positif dalam menghadapi sesuatu. Karena apa yang kita pikirkan dan yakini itulah yang akan menjadi kenyataan.
Penulis: Elsa Agustiani