JT- Festival Literasi Asia Afrika 2024 diselenggarakan pada 27 – 29 September 2024. Dalam 3 hari itu, ragam acara diadakan di beberapa ruangan tertentu di Museum Asia Afrika, seperti bazar buku, diskusi film, dan diskusi buku. Pada hari kedua, Sabtu (28/9/2024) terdapat agenda untuk diskusi buku atau Bedah Buku dari karya termasyhur Richard Wright yaitu The Color Curtain yang diterjemahkan oleh Pramukti Adhi Bakti.
Acara bedah buku The Color Curtain diselenggarakan di Ruang Audiovisual Museum Asia Afrika. Acara ini didampingi oleh seorang moderator dari Asian-Africa Reading Club (AARC) dan 2 narasumber, yaitu Pramukti Adhi Bakti, penerjemah dari The Color Curtain, dan Dina Sulaeman, seorang pengamat Timur Tengah sekaligus analis geopolitik dan dosen prodi hubungan internasional. Pembukaan acara dipandu oleh moderator kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat dari Kang Pram, sapaan akrab Pramukti Adhi Bakti, tentang bagaimana ia memulai untuk menerjemahkan buku The Color Curtain.
“Buku The Color Curtain dicetak dalam versi Bahasa Inggris dan dibaca oleh Asian Africa Reading Club pada tahun 2016. Saya memutuskan untuk menerjemahkan buku ini karena ketika membacanya, saya seperti terlarut dalam cerita perjalanan sosok Richard Wright menjadi reporter di Konferensi Asia Afrika. Keadaan dimana perwakilan dari 29 negara berkumpul di kota Bandung dan menyelenggarakan konferensi, sungguh tidak pernah ada bayangan sebelumnya hal itu akan terjadi,” ujar Kang Pram dalam pemaparan bedah buku.
Kang Pram juga menyatakan dalam menerjemahkan buku ini, butuh waktu selama kurang lebih 3 bulan. Ia banyak menempatkan banyak catatan kaki di buku karena ada beberapa istilah tentang hukum dan politik yang ia asing sebelumnya, karena Kang Pram bukan seseorang dengan latar belakang di bidang hukum dan hubungan internasional.
Adapun narasumber kedua, Dina Sulaeman, selaku pengamat Timur Tengah menyampaikan tanggapannya tentang buku ini. Awal terciptanya buku The Color Curtain adalah sebuah bentuk kekaguman dari Richard Wright tentang diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Pertemuan itu tidak akan pernah diimpikan oleh antropolog, sosiolog, atau lmuwan politik manapun untuk diadakan. Karena saat itu sangat jarang negara-negara non kulit putih untuk berinisiasi yang luar biasa. Konferensi ini menembus lapisan luar fakta social, politik, budaya yang berbeda hingga ke sisa-sisa kasar manusia.
“Jadi sejak awal pun, Wright sebagai seorang Afro America dia sudah punya pandangan tentang poskolonialisme bahwa memang orang-orang kulit berwarna ini sedemikian menderitanya dibawah kolonialisme sehingga pada akhirnya mereka menyadari bahwa memang penting untuk (mereka) bertemu bersama tanpa dicampuri oleh orang-orang berkulit putih. Bahkan ketika Konferensi Asia Afrika belum berlangsung, media barat mempertanyakan mengapa tiba-tiba orang kulit berwarna tiba-tiba bangkit dan mengadakan konferensi seperti ini. Sehingga narasi yang disebarkan oleh media barat seperti merendahkan dan meremehkan, bahkan sampai ada media yang menggunakan kata-kata seperti ini The Beggars will never learn, (artinya) para pengemis itu tidak akan pernah belajar. Sedemikian mereka meremehkan bangsa-bangsa bekas jajahan,” terang Dina dalam pemaparannya.
Acara berlangsung dari pukul 15.30 sampai 17.00. Tidak hanya pemaparan tentang isi buku, acara ini memberikan kesempatan bagi audiens untuk mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh kedua narasumber. 3 dari 6 penanya terbaik mendapatkan hadiah buku The Color Curtain dari Kang Pram, sementara untuk seluruh penanya mendapatkan hadiah dari pihak Museum Asia Afrika. Sebelum menutup acara, moderator mengarahkan narasumber untuk menerima souvenir dari pihak Museum Asia Afrika dan melakukan foto bersama seluruh audiens. Acara bedah buku ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang sejarah Konferensi Asia Afrika dan dapat meningkatkan daya baca bagi audiens.
(Dokumentasi Acara Bedah Buku The Color Curtain oleh Richard Wright)
Penulis: JT/Esa Mafatihurrahmah
Editor: JT/Inbar Nizar