Home / Cerpen

Selasa, 26 November 2024 - 11:27 WIB

Genggaman

Photo by Boyd Christiansen on Unsplash

Photo by Boyd Christiansen on Unsplash

Malam itu, langit bersih tanpa awan. Hanya bintang yang bersinar bergantung di atas langit. Namun, suasana itu terabaikan oleh suara keriuhan warga desa karena ditetapkannya kebijakan dari Dewan tentang kenaikan pajak dan pengambilan sebagian hasil panen. Peristiwa itu terjadi di tempat yang bernama Volintarin, suatu tempat kecil yang berada di bagian bumi utara. Di tempat kecil ini, warga kota dan desa dibatasi oleh sebuah benteng yang berdiri kokoh; warga dalam dan desa luar benteng. Begitu mereka menyebutnya. Bagi para Dewan, hal ini menjadi tanda geografis antara peradaban agraris dan industri. Namun, itu hanyalah pendapat bagi mereka yang mendiami peradaban industri, yaitu peradaban dalam benteng yang dipenuhi oleh bangunan megah bergaya Victoria.

“Kita sekarang akan melawan!” teriak Kepala Desa dari atas panggung kecil yang berada di tengah lapangan pusat desa. 

“Ya!” sahut seluruh warga.

“Persenjatailah diri kalian dengan garpu taman, sekop besar, atau apa pun untuk melindungi diri kalian. Kita akan ke benteng, meneriakkan dan melawan ketertindasan yang telah kita alami!” warga desa semakin naik pitam.

Para warga berlarian ke rumahnya untuk mengambil persenjataan mereka.

“Bersama, kita akan melawan! Melawan ketertindasan!” teriak Kepala Desa, dan dengan warga desa kian riuh bersemangat untuk melawan.

Malam itu, untuk pertama kalinya di Volintarin, warga desa luar benteng akan melawan. Setelah waktu yang panjang warga desa mendapat petuah Dewan: Nasib buruk bagi warga desa luar benteng. Namun mereka tetap akan melawan Dewan, para petinggi Volintarin. Sebuah kabar buruk—setidaknya bagi para dewan— di Volintarin pada pengawalan abad ke-20 ini. 

  Para warga desa berjalan bersama menuju gerbang benteng. Di tangan mereka terdapat obor, garpu taman, sekop besar, cangkul, dan ambisi untuk memperbaiki nasib mereka yang selama ini tertindas. 

Saat para warga desa telah sampai di gerbang benteng, ternyata sudah bersiap kepolisian yang menyambut mereka. Mereka berbaris memenuhi atas dan bawah benteng. Seseorang berucap dari atas menggunakan pengeras suara, “Apa yang kalian ingin lakukan?” Nampaknya, ia adalah Kepala Kepolisian.

“Kami ingin bertemu Dewan.” teriak Kepala Desa yang berada di barisan terdepan.

“Sekarang sudah malam, Dewan sedang reses. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing.”

“Kami ingin berbicara kepada Dewan mengenai nasib kita! Kalian orang-orang dalam benteng tak pernah merasakan apa yang sedang atau akan selamanya kami rasakan jika kita tak melawan. Kami ingin masuk dan berbicara pada Dewan!” para warga desa kembali riuh.

“Pulanglah, sudah kukatakan Dewan sedang reses. Kembalilah,” diperingatkannya kembali oleh Kepala Kepolisian.

“Ayo, teman-teman! Kita akan tetap masuk.” teriak Kepala Desa tanpa menghiraukan ucapan Kepala Kepolisian.

Saat para warga ingin memasuki gerbang, kepolisian menutupnya rapat-rapat dengan pagar besi. Hal itu membuat warga semakin riuh. Teriakan umpatan dan sumpah serapah dilontarkan para warga desa luar benteng. Mereka mendorong-dorong pagar besi itu sembari memaki-maki. Suasana bertambah buruk. Warga sangat kesal. Tembok benteng yang mulai retak dan pagar besi mulai bengkok seiring kekesalan warga yang menjadi-jadi. 

Di tengah kerusuhan itu, terdengarlah letusan revolver yang mengenai salah seorang warga di bagian kaki. Warga itu hendak terjatuh, namun ditopang oleh beberapa warga. Seketika keadaan yang mula riuh, rusuh, dan penuh sumpah serapah menjadi hening bersamaan dengan hilangnya suara letusan revolver. 

Para warga terdiam dengan muka kesal tak berdaya melihat barisan kepolisian.

“Pulanglah. Kembali ke rumah kalian.” ucap Kepala Kepolisian dengan nada acuh tak acuh.

“Teman-teman, kembalilah ke rumah masing-masing,” ucap Kepala Desa. “Aku tak ingin perlawanan ini menumpahkan darah banyak orang tak bersalah. Sekarang, kembalilah.” Para warga desa kembali berbalik berjalan ke desa dengan rasa kesal dan kepasrahan. Segelintir orang membopong warga yang tertembak revolver tadi, dan Kepala Desa menatap beringas Kepala Kepolisian.


Pagi itu, langit cerah tanpa awan kelabu. Warga desa beramai-ramai keluar dari rumah kayu mereka dengan membawa beberapa lembar uang dan karung berisi hasil panen menuju rumah Kepala Desa untuk disetorkan.

“Tuan Kepala Desa,” seorang pemuda berkata kepada Kepala Desa sembari menurunkan karung dan memberikan beberapa lembar uang. “Bagaimana hidup kita ingin lebih baik jika begini terus?”

Kepala Desa pun berhenti berkutat dengan catatannya, “Hah…” menghembuskan keluh dari mulutnya. “Kita tidak mempunyai kuasa, Nak.”

“Apakah kau lupa dengan peristiwa malam di mana kita melawan bersama?”

“Nak, aku tak ingin warga desa menjadi korban karena perlawanan itu.”

“Kita pun telah menjadi korban, Tuan. Kita telah menyetujui kebijakan yang malah memperburuk nasib kita. Kita jadi korban, Tuan Kepala Desa. Lebih baik, kita melawan. Memperjuangkan kembali kehidupan layak kita. Melawan kebijakan yang hanya memihak orang dalam sana!”

“Hei, hei, Nak… dengarkan. Aku tahu nasib kita tidak baik. Tetapi, dengan melawan juga belum tentu nasib kita berubah. Oleh karenanya…” ucapan Kepala Desa sontak terhenti karena tiba-tiba terdengan suara lantang dari sesosok pria dengan jaket panjang dan mengenakan topi fedora yang berdiri tegak di atas panggung kecil, di tengah lapangan pusat desa yang tak jauh dari rumah Kepala Desa.

  “Para penduduk desa luar benteng,” Ucap pria itu, dan warga yang mulai mengerumuninya. “Aku telah mendengar berita tentang perlawanan kalian terhadap kebijakan Dewan. Aku pun telah belajar dari data lama. Aku kumpulkan data-data itu untuk menyusun untaian peristiwa, tentang ketetapan Dewan terhadap kalian para penduduk desa. Aku paham itu.” ia membuka topi fedoranya, nampaklah seorang pria paruh baya mengenakan kacamata bulat keemasan. “Aku, Twidi, penduduk dari kota dalam ingin menawarkan kalian bantuan.” ia adalah Tuan Twidi, seorang warga dalam benteng yang mempunyai penerbitan untuk karya fiksi. Namanya sangat terkenal di dalam benteng melalui ceritanya yang menyenangkan. Namun, di desa ini tak ada satu pun yang mengenalnya. Mendengar namanya saja belum, apalagi karyanya. Bahkan, untuk mendengar bisikkan hari esok tentang hidup pun, warga desa luar benteng terasa masih samar-samar.

baca juga  Resensi Novel Tentang Kamu Karya Tere Liye

“Kau orang dalam. Mereka semua penipu!” teriak salah seorang warga.

“Aku paham, kalian semua memiliki nasib yang kurang baik. Aku pun tahu seharusnya kalian berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Aku di sini ingin membantu kalian.”

“Membantu membuat nasib kami lebih buruk?” ucap salah seorang warga kembali yang membuat riuh suasana.

Tiba-tiba seorang wanita bergaun putih berlari menaiki panggung. “Kita akan membantu kalian tanpa kekerasan.” ia adalah putri Tuan Twidi. Ucapannya membuat seluruh warga terdiam. “Kita akan membantu nasib kalian menjadi lebih baik dengan menerbitkan berita yang sebenarnya tentang kondisi kalian. Mencetak berita. Menyebarkannya ke seluruh kota Volintarin di dalam benteng.” ucapnya dengan suara penuh harapan.

Tuan Twidi tersenyum kepada putrinya. Kemudian, Tuan Twidi menebarkan pandangannya kepada seluruh warga desa dengan penuh harapan dan berkata, “Kita akan memberitahu kepada orang-orang, bahwa di dunia ini ada orang yang perlu diberi genggaman tangan dan membantunya mengarungi nasib.”

Tiba-tiba juga, seorang pemuda desa menaiki panggung. “Aku percaya dengan mereka.” ucap pemuda tadi yang berbincang dengan Kepala Desa. Matanya meyakinkan seluruh warga. “Bersama, kita bisa mengubah nasib kita. Di depan kemanusiaan, kita adalah sama. Entah kita yang berada di luar benteng ataupun di dalam. Ada masanya, tak hanya mereka saja yang bisa merasakan bangunan-bangunan megah gaya Victoria. Bersama, kita akan tumbuh dan merasakan kesetaraan. Bersama.”

“Bersama.” putri Tuan Twidi menatap kepada pemuda itu dengan penuh keyakinan. 

Kemudian, pemuda itu melihat dengan yakin pada Kepala Desa untuk kembali melawan. Kepala Desa pun ikut menaiki panggung. Sejenak hening. “Teman-teman, malam kita melawan adalah malam di mana kita menjadi benar.” ucap Kepala Desa. “Namun, kita menyerah kepada kebenaran ketika malam itu. Aku menyerah. Ketakutan jika wargaku yang tak bersalah akan tumbang ke tanah dengan sia-sia. Namun, kalian sekarang menanggung kesakitan berkepanjangan, seperti jasad tanpa jiwa yang sedang mengemis kehidupan.” Kepala Desa melihat kepada si pemuda. “Aku yang menyerah, Nak.” lalu, ia melihat yakin kepada seluruh warga desa. “Tetapi, hari ini kita akan lahir kembali. Tumbuh untuk memperjuangkan kebenaran. Hari ini, kita akan melawan!” ucap Kepala Desa dengan penuh semangat. Warga pun berteriak dengan penuh semangat. “Bersama.” ucap Kepala Desa kepada tiga orang yang berada di atas panggung. Kemudian, mereka berempat pun bergenggaman tangan.

“Bersama!” ucap pemuda desa itu dengan mengangkat gandingan tangannya.

“Bersama! Bersama! Bersama!” menggema semangat yang berapi-api dari seluruh warga.


Hari berganti hari, minggu berganti minggu, sekarang penerbitan Tuan Twidi tak lagi menerbitkan cerita-cerita fiksi menyenangkan, melainkan berita kenyataan tentang warga desa luar benteng. Tentang kesetaraan manusia. Kesetaraan kebijakan! Memihak untuk meraih kebenaran yang pantas semua manusia dapatkan. Penerbitan Tuan Twidi telah mencetak banyak sekali koran, dan poster untuk ditempelkan di setiap sudut kota. Usaha tanpa kekerasan ini membuahkan hasil. Orang-orang dalam benteng mulai menyadari akan kebutaan mereka tentang nasib orang luar. Bahkan, topik ini menjadi topik utama di surat-surat kabar lain, menutupi topik otomobil yang mulai berseliweran di jalanan.

Semakin hari, pembaca semakin meningkat, begitu pun kesadaran akan kesetaraan dan kemanusiaan. Orang-orang dalam mulai mempertanyakan tanggung jawab Dewan. Bahkan, ada segelintir warga yang beraksi dengan menempelkan beberapa poster di gedung Dewan dengan unsur sarkas yang ditunjukkan kepada anggota Dewan, para petinggi kota Volintarin. 

Cukup lama Dewan tak membuka suaranya. Hingga akhirnya, Der Kasier, Ketua Dewan, membuat keputusan untuk membawa Tuan Twidi ke hadapan para Dewan.

“Apakah benar, Tuan yang membuat berita ini pertama kali?” tanya Der Kasier, dan para Dewan memusatkan perhatian mereka kepada Tuan Twidi.

“Benar, Tuan.” 

“Tuan tahu akibat dari terbitnya tulisan semacam ini?”

“Aku hanya ingin mereka mendapatkan yang mereka layak dapatkan. Dan juga, warga dalam telah terlalu lama buta tentang dunia luar. Dengan sesamanya.”

“Hmm… ini berpotensi akan membuat kerusuhan.” Der Kasier sejenak memeriksa kertas-kertas dihadapannya yang berisi berita tentang keadaan warga desa. Kemudian ia berbincang sebentar dengan anggota-anggotanya yang berada di sampingnya, lalu berkata dengan lantang, “Baik. Dengan ini, Dewan memutuskan, Tuan Twidi divonis hukuman gantung pada sore hari ini, karena perbuatan Tuan ini akan berpotensi tercetusnya kudeta.” Der Kasier mengetuk palu tiga kali.

Tuan Twidi terbelalak mendengar keputusan itu. Saat penjaga ingin membawanya, ia meronta. Ia pun berhasil melepaskan diri dan berlari menuju Der Kasier. Ia memeluknya! Dan berbisik, “Jagalah putriku. Ia adalah wargamu.” Der Kasier sesaat kehilangan dirirnya… ia baru mendapatkan dirinya kembali setelah Tuan Twidi dibawa paksa oleh penjaga. Ia berusaha untuk tidak memikirkan kalimat itu lebih lanjut.

baca juga  Mawar; Respati

Tinggal menunggu waktu bagi Tuan Twidi untuk menemui kematian. Di tengah jalannya menuju sel tunggu, ia menitikkan air mata. Dunia dan isinya tak ada lagi dalam pikirannya. Yang ada hanyalah, ‘putrinya, putrinya, dan putrinya’. 

Sore hari tiba. Putrinya yang sedari pagi menunggu ayahnya di rumah merasa janggal. Ia pun bergegas keluar rumah dan menuju gedung Dewan. Sesampainya, ia melihat kerumunan orang di lapangan gedung. Ia berdesak-desakkan melewati orang-orang. Putri Tuan Twidi terbelalak saat melihat orang dengan leher terikat yang berada di atas panggung kayu tempat eksekusi gantung adalah ayahnya. “Ayaahhh!” teriak putri Tuan Twidi dengan berlinang air mata ingin menerobos masuk untuk menggapai ayahnya. Namun, ia dijegal oleh para penjaga. Tuan Twidi tersenyum kepada putrinya. Seketika, setelah senyuman kepada putrinya, kayu yang menjadi pijakkan Tuan Twidi amblas, bertepatan setelah tuas ditarik oleh sang eksekutor. Putrinya melihat langsung dengan mata kepalanya: sang ayah tergantung lemah. Ia terbelalak. Hatinya patah. Dunia terasa hilang kehadirannya. Sekarang, ia benar-benar kehilangan orang yang benar-benar bisa menjaganya. Ayahnya telah menuju ketiadaan, dan menemui ibunya yang tak pernah ia rasakan kasih sayangnya sejak ia bayi. Sesaat, setelah ia merasakan kembali kehadiran dunia, ia kembali berusaha menerobos masuk melewati penjaga. Namun, usahanya tak berhasil. Dua penjaga menangkapnya, dan dalam sedu sedannya ia berteriak, “Ayahh! Ayah! Ayahhh!” ia tersedan-sedan dan meronta-ronta dalam tangkapan dua penjaga itu. Lalu, dua penjaga itu membawa paksa putri Tuan Twidi ke sel tahanan. Ia masih juga memekik ayahnya dengan tersedan-sedan dalam bawaan dua penjaga itu menuju sel tahanan. Akhirnya, ia pun dimasukkan ke dalam sel. Sedu sedannya semakin menggema seiring hilangnya langkah kaki dua penjaga itu.

Peristiwa matinya Tuan Twidi di atas tiang gantung pun tersebar cepat. Warga desa luar benteng mengetahuinya dari pekerja Tuan Twidi. Peristiwa ini membuat warga desa berkabung sekaligus membuat bara amarah mereka terbakar. 

Malam harinya, terdengar pekikan kemarahan dan langkah-langkah yang berlarian cepat dari arah gerbang masuk benteng. Itu adalah warga desa! Mereka melawan. Tak lama setelahnya, terdengar gerbang benteng runtuh. Bunyi tembakan revolver dan senapan terdengar di setiap sudut kota. Di saat tembak-menembak dan pekikan kemarahan warga desa, para warga dalam keluar dari rumah mereka dan berseru untuk membantu warga desa untuk melawan. Teriakan tanda melawan dan letusan tembakan semakin riuh. Suasana mencekam mengoyak-ngoyak kota Volintarin. Cukup lama keriuhan ini berlangsung, hingga pada akhirnya, letusan tembakan dan pekikan orang-orang tak terdengar kembali. Kota sejenak hening. Kemudian, terdengar kembali keriuhan. Kali ini tak ada lagi keriuhan letusan tembakan, tetapi hanya keriuhan orang-orang yang terdengar di gedung Dewan. Suara sorak-sorai kegembiraan yang menggema ke seluruh kota.


Setelah peristiwa perlawanan, kala di sore hari yang damai. “Ayahmu adalah seorang pahlawan.” ucap pemuda desa. Dalam kedamaian, kepada putri Tuan Twidi yang sedang duduk di samping makam ayahnya. “Meskipun pada akhirnya kita mengakhiri ketertindasan dengan kekerasan. Tetapi, ini adalah titik yang menciptakan garis panjang menuju perdamaian dan kasih sayang.”

“Itulah yang ia inginkan. Ia selalu mengajariku untuk menyebarkan kasih sayang dan perdamaian. Berhenti membenci dan mendendam.” Ia lalu bangkit.

“Itukah yang membuatmu menolak untuk memberikan hukuman setimpal kepada Der Kasier di pengadilan, si mantan Ketua Dewan itu?”

Ia menitikkan air mata sambil tersenyum kecil. “Ya, ia selalu membenci kebencian, kekerasan, dan rasa dendam. Baginya, itu hanya akan menumbuhkan luka atau bahkan lebih buruk. Katanya, semenjak ibu meninggal karena melahirkanku ia belajar banyak hal. Ia ingin berhenti membenci keadaan, mendendam pada masa lalu serta berhenti untuk bersikap keras terhadap dirinya. Karena, itu tak akan mengubah keadaan. Ia hanya ingin melangkah, melakukan apa yang menurutnya benar dan mencintai keadaan yang sekarang dimilikinya. ‘Cerminkan kepada dunia apa arti kasih sayang dengan perbuatan’ itu kata-katanya yang paling aku ingat darinya. Lagi pula, jika Der Kasier menerima hukuman yang setimpal tak akan mengubah keadaan. Ada kemungkinan juga ia akan berguna bagi wajah baru kota Volintarin ini.” ia tertawa kecil. “Sikap manusia itu sulit untuk ditebak.” sejenak, keheningan menerpa mereka dengan belaian angin sepoi-sepoi.

“Kau ingat ketika hari kita bergenggaman bersama di hadapan penduduk desa?” Lanjut putri Tuan Twidi. “Sebelumnya, di rumah ia mengatakan akan melakukan hal benar untuk kali ini. Tiba-tiba, ia menempelkan dahinya dengan dahiku dan berkata, ‘Tak ada kebencian, tak ada kekerasan, dan tak ada rasa dendam. Kita akan melakukannya dengan kasih damai. Dengan perbuatan. Bersama.’ ” kembali, ia meneteskan air mata dengan senyuman kecilnya.

“Dan ia berhasil.” ucap pemuda itu. “Karena perbuatannya, sekarang warga desa dan kota tidak lagi membatasi diri mereka dengan benteng, yang pada dasarnya, benteng itu adalah simbol kebencian terhadap strata sosial. Sekarang kita setara atas nama kemanusiaan. Belum pernah Volintarin sebaik ini.” keheningan menghampiri mereka kembali. 

Setelah beberapa saat hening, “Bersama.” ucap pemuda itu sembari menatap dalam putri Tuan Twidi dan mengulurkan tangannya meminta genggaman.

“Bersama.” lalu, putri Tuan Twidi menggenggamnya dengan sangat erat.

TAMAT

Penulis : Muhammad Raenandra Syahputra
Editor : Euis Siti Sopiah

Share :

Baca Juga

Cerpen

Mawar; Respati

Cerpen

Akibat Pulang Terlambat

Cerpen

SI KUNING

Cerpen

Pohon yang rindang karena akar yang kuat