Globlit-Pagi-pagi sekali, saya mendapat kabar bahwa Irin meninggal dunia. Apa penyebab dan di mana Irin meninggal tidak jelas, simpang siur kabar beredar, tetapi kebenarannya masih diragukan. Ada kabar yang menyebutkan Irin meninggal karena dibunuh seseorang, diculik, dan mayatnya sengaja diletakkan di pinggir jalan, di seberang penjual bubur tempat biasa dia sarapan. Kabar lain yang saya dengar bahwa Irin pulang dari tempat kerjanya dalam keadaan mabuk dan ketika hendak menyebrang jalan, dia tidak memperhatikan kiri-kanan. Saat itu juga, melaju mobil dari arah kanan dan langsung menyambarnya. Pengendara mobil tersebut sempat berhenti sebentar. Namun, setelah mengetahui Irin meninggal di tempat, si supir mobil pergi melarikan diri. Begitu yang saya dengar dari warga sekitar tempat mayat Irin ditemukan. Juga masih banyak cerita-cerita penyebab Irin meninggal lainnya, yang ketika saya dengar langsung dari saksi mata, seolah mereka bercerita jujur.
Yang saya tahu, Irin memang selalu pulang kerja dini hari. Bahkan, saya sering berpapasan dengannya ketika pulang dari masjid menuju indekos. Saya juga sering mendapati Irin habis minum dan di suatu malam kami pernah minum bersama di kamar indekos saya. Saat itu saya lagi mumet, skripsian tidak ada progres sehingga saya memutar musik kencang- kencang dan bernyanyi sambil berteriak. Irin yang berada di kamarnya — di sebelah kamar saya — mungkin menyadari kalau saya butuh refreshing. Lalu, Irin datang ke kamar saya, di tangganya sudah ada sebotol Whisky yang baru dibuka. Saya kemudian mempersilakannya duduk dan segera menuju dapur untuk mengambil dua buah gelas. Sepanjang malam kami bercerita tentang kehidupan masing-masing. Sebenarnya Irin lebih banyak mendengarkan dan sesekali menanggapi cerita saya. Sambil mendengar cerita, Irin menuang minuman ke gelasnya, juga ke gelas saya. Karena saya bukan seorang “peminum”, saya hanya menenggak dua gelas, sisanya Irin yang menghabiskan. Malam itu, meskipun Irin sudah banyak minum, dia tetap sadar. Bicaranya masih normal dan tidak ngawur, masih asyik diajak mengobrol. Sehingga kabar yang mengatakan Irin meninggal karena menyebrang dalam keadaan mabuk lalu ditabrak mobil seakan mengada-ada bagi saya.
Saya mengenal Irin sejak dua tahun lalu. Saat itu saya baru pindah ke indekos saya yang sekarang ini. Saya meminjam sapu dan kain pel miliknya ketika bersih-bersih kamar. Irin tidak hanya meminjamkan, tapi dia juga bersedia membantu saya bersih-bersih hingga menata barang-barang yang saya bawa dari indekos lama. Irin bercerita bahwa dia sudah merantau ke Jakarta sejak tamat SMA dan kini sudah 4 tahun. Karena cuma lulusan SMA, awalnya Irin hanya bekerja sebagai housekeeper di sebuah hotel. Di suatu hari, ada seorang ibu yang menginap di hotel tempat Irin bekerja dan menawarkan untuk ikut bekerja di tempatnya. Awalnya Irin takut karena mereka baru kenal dan bisa saja dia malah kehilangan pekerjaannya sebagai housekeeper. Kemudian ibu tersebut menawarkan untuk datang dulu ke tempat kerjanya. Jika tidak cocok, Irin boleh menolak. Singkat cerita setelah Irin datang melihat, dia akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari ibu tersebut. Itulah awal perbincangan panjang saya dengan Irin. Saya menyimpulkan Irin adalah orang yang asyik untuk dijadikan teman dan hari-hari berikutnya saya dan Irin bertambah akrab.
Kabar meninggalnya Irin sangat mengejutkan saya. Padahal, baru kemarin saya dan Irin pergi jalan bersama. Kami berdua menghabiskan seharian untuk ke toko buku, panti asuhan, museum, hingga makan malam di salah satu restoran di Senayan City. Kami baru berpisah ketika Irin hendak pergi kerja dan saya pulang menuju indekos. Ternyata perpisahan itu adalah perpisahan kami untuk selamanya. Atas rasa terkejut yang saya dapatkan pagi ini, saya memutuskan tidak berangkat ke kampus. Saya segera menghubungi Sinta, satu-satunya teman Irin yang saya kenal untuk mengabarkan mengenai meninggalnya Irin. Alangkah terkejutnya saya, ternyata sudah ada 9 panggilan tidak terjawab dan 14 pesan WhatsApp. Semua panggilan dan pesan tersebut berasal dari Sinta, kecuali 2 pesan WhatsApp dari mama saya yang menanyakan apakah bisa pulang akhir bulan. Tidak langsung membalas pesan mama, saya terlebih dahulu melanjutkan niat menelpon Sinta. Sinta ternyata sudah tahu mengenai kabar meninggalnya Irin. Dia mendapat kabar dari salah satu rekan kerjanya yang malam itu bertugas dengan Irin. Sinta juga menjelaskan bahwa Irin menitipkan sesuatu dan meminta saya menemuinya malam ini di suatu tempat yang sudah ditentukan.
Sepanjang hari sampai sore, saya tidak ke mana-mana. Saya hanya keluar sebentar untuk membeli rokok dan minuman dingin di minimarket yang berada dekat indekos. Sore harinya, saya menuju kafe yang menjadi tempat bertemu dengan Sinta. Saya sengaja berangkat lebih awal karena jarak indekos saya menuju tempat tersebut lumayan jauh. Lagi pula saya mau singgah ke sebuah panti asuhan untuk bertemu Fira. Fira adalah seorang anak berumur 6 tahun yang dikenalkan Irin kepada saya. Kala itu, Fira bersama Sinta sering berkunjung ke kamar indekos Irin. Bahkan tidak jarang Fira ditinggalkan menginap, sementara Sinta pulang ke rumahnya. Awalnya saya mengira kalau Fira adalah anaknya Sinta. “Ya enggak lah. Orang Sinta masih single. Masih aman kalau lo mau deketin,” kata Irin.
Masa itu saya memang sering mengobrol dengan Sinta, baik melalui pesan WhatsApp atau secara langsung ketika dia datang ke kamar indekos Irin. Namun, yang menjadi topik obrolan saya dengan Sinta tidak lain adalah Irin. Saya sering menanyakan tipe laki-laki seperti apa yang disukai Irin, apakah Irin sedang dekat dengan seseorang, atau apakah sudah punya pacar. Dari Sinta saya mengetahui bahwa Irin belum punya niatan untuk menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Setelah itu, saya tidak berani menanyakan apa penyebabnya karena menurut saya itu terlalu privasi.
Pertemuan dengan Sinta di kafe itu menyadarkan saya bahwa perkenalan, keakraban, dan pengetahuan tentang Irin sangat dangkal. Sinta bercerita bahwa setelah lulus SMA Irin merantau ke Jakarta dalam kondisi hamil. Irin mengandung anak hasil dari hubungannya dengan pacarnya. Malangnya nasib, laki-laki yang dulu sangat dicintainya itu tidak mau bertanggung jawab. Jadi, Irin harus menanggung malu sekaligus caci maki dari orang-orang bahkan keluarganya sendiri. Tidak tahan menerima sumpah serapah dari keluarganya, Irin memutuskan kabur ke Jakarta. Sesekali Sinta mengambil jeda dalam ceritanya. Menatap matanya yang berkaca-kaca, saya dapat merasakan emosionalnya Sinta sebagai seorang sahabat.
Kemudian Sinta melanjutkan ceritanya, bahwa di Jakarta Irin tidak punya siapa-siapa, hanya nekat dan harapan pasti akan ada rezeki untuk anak yang sedang dikandungnya. Irin memutus hubungan dengan keluarganya di Bukit Tinggi. Irin tumbuh menjadi sosok Irin yang baru; bertanggung jawab, mandiri, dan pekerja keras. Berbagai tempat Irin datangi untuk melamar pekerjaan. Berbagai pekerjaan dia lakukan untuk menabung biaya melahirkannya. Hingga ketika anaknya lahir, belum genap sebulan, Irin menyerahkannya ke panti asuhan karena dia tidak mau anaknya malu punya ibu seperti dirinya. Irin terus bekerja keras agar bisa mengirimkan uang ke anaknya yang berada di panti asuhan. Hingga suatu malam Irin bertemu seorang ibu yang menawarkan pekerjaan dengan gaji yang fantastis. Sinta meneguk es kopi pesanannya, lagi-lagi mengambil jeda cerita.
“Itulah awal Irin masuk ke pekerjaan malam ini,” kata Sinta. Sinta kembali menegaskan bahwa pekerjaan itulah yang menyebabkan Irin meninggal dunia.
Kemudian, atas kepolosan saya, saya beranikan bertanya pekerjaan seperti apa yang mereka lakukan. Sinta menjawab bahwa pekerjaan mereka melayani laki-laki hidung belang, “Dan asal lo tau, Ham, yang datang ke kami itu orang-orang besar, orang-orang berpengaruh di kota ini,” kata Sinta. Menurut Sinta, meninggalnya Irin ada hubungannya dengan ancaman- ancaman yang diterima Irin dari istri salah satu kliennya.
Laki-laki yang menjadi pelanggan Irin ternyata sudah lama dicurigai selingkuh oleh istrinya. Sialnya, Irin lah yang tertangkap basah saat berdua-duaan di kamar dengan laki-laki tersebut dan kesialan bertambah lagi setelah Irin mengetahui bahwa istri kliennya itu juga orang penting di Jakarta. Kaki-tangannya banyak dan ada di mana-mana. Mulai saat itu hidup Irin tidak pernah tenang. Meskipun sudah memutus hubungan dengan suami dari istri yang terus- terusan meneror hidupnya, Irin masih sering mendapat ancaman, diikuti orang tidak dikenal, dan hampir diculik.
“Makanya gue minta sama lu, Ham, untuk nerima ini.” Sinta kemudian menyerahkan sejumlah amplop cokelat yang saya tidak tahu apa isinya. Karena Irin banyak menolong saya, saya bersedia menerima yang kata Sinta amanah dari Irin tersebut. Saat menerimanya, saya merasakan di dalam amplop itu ada beberapa kertas. Juga kartu, mungkin.
Sinta kemudian mengatakan bahwa amplop tersebut berisi buku tabungan beserta kartu debit yang berisi uang tabungan Irin selama bekerja. Berdasarkan cerita Sinta, Irin meminta saya untuk mengelola uang tersebut agar bisa membiayai kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya. Yang baru saya ketahui dan membuat saya terkejut ternyata yang dimaksud anak Irin adalah Fira. Atas kebijakan yang tidak perlu berpikir panjang, saya meminta persetujuan Sinta agar Fira tidak perlu lagi tinggal di panti asuhan, supaya tinggal dengan saya saja.
“Saya berjanji akan membesarkan dan menganggapnya sebagai anak saya sendiri,” saya meyakinkan Sinta.
“Irin selalu tahu lu punya keputusan terbaik, Ham,” kata Sinta.
Pertemuan kami pun berakhir ketika Sinta pamit untuk pergi bekerja. Sebelum Sinta beranjak, saya pesankan hati-hati dan semoga kebahagiaan selalu menyertainya. Sinta membalas dengan senyum manis hingga akhirnya tubuhnya menghilang melewati pintu kafe yang semakin malam semakin ramai.
Penulis: Ilham Syahputra Harahap