SMKAA-Konferensi Asia-Afrika sukses dilaksanakan pada 18-24 April 1955 dan menghasilkan Dasasila Bandung. Keberhasilan ini tidak hanya ditentukan oleh tujuan sama yang ingin dicapai negara-negara anggota, tetapi ada peran beberapa tokoh besar yang memprakarsai adanya KAA. Seperti yang jarang dibahas namun punya peran besar sebagai penggagas yaitu U Nu, seorang perdana menteri Burma (Myanmar) yang membawa perspektif agama dalam KAA.
Perjalanan U Nu
Thakin Nu atau yang biasa dikenal dengan U Nu, merupakan seorang Perdana Menteri pertama Myanmar setelah kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Ia lahir pada 25 Mei 1907 di Wakema, sebuah kota kecil di Delta Irrawaddy. Dilansir dari Britannica, U Nu adalah putra dari seorang pemilik toko kecil. Ia menempuh pendidikan di Universitas Rangoon (Yangon) dan mendapat gelar BA pada tahun 1929. Sempat bekerja menjadi kepala sekolah pada 1934, U Nu kembali ke Universitas untuk mendapat gelar hukum (yang tidak diselesaikannya) dan mulai terlibat gerakan-gerakan nasionalis. Kemudian dilansir dari jurnal “The Rise and Fall of U Nu” karya Louis J. Walinsky, pertama kali U Nu dikenal di dunia politik nasional pada saat peristiwa pemogokan mahasiswa pada 1936 yang menarik antusianisme serta simpati nasional. Ia kemudian menjadi sosok terkenal dan penting. Setelah karirnya naik, U Nu kemudian aktif dalam partai nasionalis penting Dobama Asiaone, membantu mendirikan Red Dragon Book Club yang mengabdikan diri pada kemerdekaan dan propaganda sosialis. Saat Perang Dunia ke II berlangsung, U Nu bergabung dengan Dr. Ba Maw kedalam “Freedom Bloc” yang berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan untuk Burma sebagai harga dalam mendukung Inggris dalam perang.
Selama masa pendudukan Jepang, U Nu menjadi anggota kabinet pemerintahan boneka Ba Maw. Namun, sebenarnya ini hanyalah penyamaran untuk melindungi rekan-rekan seperjuangannya yang terlibat dalam gerakan perlawanan. Bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Aung San, Than Tun dan Thakins Chit serta Mya, U Nu berpartisipasi dalam “Inner Circle” para pemimpin Thakin yang menuntut, dan memperoleh, dari Dr. Ba Maw hak veto atas keputusan politiknya sebagai harga dukungan mereka. Tahun 1947, U Nu menjadi kepala pemerintahan dan pemimpin partai politik terkemuka di Burma (Myanmar) bernama Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL). Hal ini kemudian menjadi motor perjuangan kemerdekaan Myanmar. Setelah kemerdekaan dideklarasikan pada Januari 1948, U Nu kemudian menjadi perdana menteri pertama Myanmar dan menjabat selama 10 tahun dengan jeda di tahun 1956-1957.
Selama menjabat sebagai perdana manteri, pemerintahan di masa U Nu terganggu dengan adanya pemberontakan komunis dan etnis minoritas, stagnasi ekonomi, dan inefisiensi administratif. Terlepas dari permasalahan yang ada, U Nu memang dikenal sebagai seorang negarawan yang cakap dan dihormati. Ia juga terlibat dalam berbagai aktivitas perdamaian seperti menjadi pelopor Konferensi Asia-Afrika juga ikut serta dalam Gerakan Non-Blok. U Nu mengundurkan diri dari jabatan pada 1958 kemudian kembali lagi pada 1960. Tetapi tahun 1962 dia digulingkan karena kudeta dan dipenjara. Ia sempat meninggalkan Myanmar pada 1969 sebelum kembali ke Myanmar dan menjadi biksu ditahun 1980. Pemerintahan U Nu cukup kompleks dengan adanya jatuh bangun, tetapi tidak bisa dipungkiri keterlibatannya dalam hal-hal penting khususnya tentang kerjasama dan semangat perdamaian.
Keterlibatan U Nu dalam KAA
Semangat perdamaian dan usaha jalinan kerjasama mempelopori untuk diadakannya Konferensi Asia-Afrika yang berhasil dilaksanakan di Bandung, Indonesia tahun 1956. Beberapa orang dari negara-negara di Asia dan Afrika membawa semangat untuk memprakarsai kegiatan ini diantaranya ada Ali Sastroamidjojo dari Indonesia, Sir John Kotelawala dari Ceylon/Sri Lanka, Jawaharlal Nehru dari India, Mohamad Ali dari Pakistan, serta U Nu dari Burma/Myanmar.
U Nu tampil sebagai tokoh penting dari Myanmar yang membawa keinginan perdamaian, kemandirian, dan kesetaraan di antara negara-negara yang baru merdeka. Meskipun hanya sebuah negara kecil, U Nu juga membuktikan Myanmar punya semangat yang luar biasa untuk menjadi negara maju dan memiliki suara penting dalam tatanan global. Dilansir dari Portal Bandung, U Nu dalam KAA menjadi seorang pemimpin spiritual yang bijaksana. Ia membawa perspektif Buddha kedalam KAA dan menekankan pentingnya perdamaian, toleransi, dan kasih sayang antarumat manusia. Ia juga berperan dalam meredakan ketegangan politik yang muncul selama konferensi berlangsung.
Keikutsertaan U Nu sebagai pelopor KAA tidak menghentikannya untuk berhenti hanya sampai disana. Selanjutnya, ia ikut serta menjadikan Myanmar sebagai anggota dari Gerakan Non-Blok yang merupakan kelanjutan dari KAA. Meskipun pemerintahan masa U Nu jatuh bangun, namun U Nu tetap dikenang dengan baik. Ia tetap menjadi sosok yang dihormati dalam semangat dan gerakan nasionalisnya yang melepaskan Myanmar dari penjajahan.
Penulis: JT/Sofi Nur Meilina
Editor: Global Literasi/Euis Siti Sopiah