Home / Berita / Sejarah

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 07:05 WIB

Jarang Diketahui Orang, Ternyata Bali Juga Pernah Jadi Tuan Rumah Konferensi Pengarang Asia-Afrika 1963

Serpihan-Sejarah-Sastra.jpg

Serpihan-Sejarah-Sastra.jpg

SMKAA-Beberapa orang mungkin sudah banyak tahu tentang Konferensi Asia Afrika 1955 termasuk tahu Dasasila Bandungnya.Tapi, mungkin beberapa ada yang belum tahu tentang peristiwa ini. Biar tidak penasaran,mari Membaca dibawah ini.

Konferensi Pengarang Asia Afrika adalah sebuah Konferensi Asia Afrika yang bergerak di bidang Literasi dimana membahaskan tentang perjuangan sastra di Asia dan Afrika melawan kolonialisme dan lainnya.Konferensi Pengarang Asia Afrika(KPAA) terinspirasi dari KAA 1955 yang dilaksanakan di Bandung salah satunya Dasasila Bandung.KPAA sendiri dilaksanakan di beberapa kota besar di Asia Afrika salah satunya Bali .Dilansir dari Kemendikbud.com, Dodong adalah seorang penyair dan beliau juga aktif dalam organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, ia menjadi anggota delegasi pengarang Indonesia yang tergabung dalam Lekra bersama Sitor Situmorang sebagai ketua delegasi, Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani sebagai anggota. Delegasi pengarang Indonesia ini pernah mengikuti Konferensi Pengarang Asia—Afrika di Uni Sovyet (1958), di Tokyo, Jepang (1960), di RRT (1961), dan di Bali (1962).

 Konferensi Pengarang Asia-Afrika ini memberi inspirasi bagi Dodong dalam proses kreatifnya, misalnya, “Malam di Tokyo” yang mengungkapkan rasa solidaritasnya kepada buruh yang mogok, puisi “Dari Utara ke Selatan, dari Selatan ke Utara” menggambarkan suasana kegembiraan saat menyambut konferensi yang akan menggalang kerja sama negara Asia-Afrika, dan puisi “Pasir Putih, Pantai Sanur” yang dimuat dalam Sastra, No. 9—10, Tahun III, 1963 yang mengungkapkan kenangan kepada Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Bali, tahun 1963. Dalam puisi itu disebut nama-nama Sitor Situmorang, Cheung, Pramoedya Ananta Toer, dan Joebair.

Lekra memaksa Dodong agar menarik puisinya yang telah dimuat dalam majalah Sastra. Honor yang sudah diterima Dodong harus dikembalikan dan puisinya yang belum dimuat yang masih berada di tangan redaksi diminta supaya tidak dimuat. Untuk itu, Dodong membuat surat terbuka yang dimuat dalam harian Rakyat Minggu, 23 Pebruari 1964 dan harian Bintang Timur, 24 Februari 1964 yang menyatakan keberatan Dodong terhadap pemuatan puisinya dalam majalah Sastra.Jadi dapat digambarkan seperti apa KPAA itu dan Untuk selengkapnya bisa dibaca dibawah ini:

Suasana Konferensi Pengarang Asia Afrika Dan Pidato Ananta Toer 1963

Dilansir dari dasarbali.com,Ditemukan fakta kalau Bali pernah menjadi tuan rumah Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA) pada tahun 1963. Dua sastrawan muda Indonesia waktu itu, Pramudya Ananta Tur dan Sitor Situmorang menjadi panitia pelaksana.

Dalam pertemuannya, penulis-penulis dari anggota Asia Afrika hadir bertukar fikiran. Pengarang Indonesia juga aktif menghadiri pertemuan-pertemuan internasional itu. Ketika Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah penyelenggara, pemerintah menunjuk Bali sebagai sebagai tempatnya.

Konferensi Pengarang Asia Afrika yang mana menjadi pertemuan para penulis dari anggota Asia Afrika itu berlangsung 16-21 Juli 1963 di Hotel Segara Village, Sanur. Laporan surat kabar yang meliput acara itu menunjukkan kalau acara di Bali meriah, semarak, dan sukses.Dipilihnya Bali sebagai tuan rumah antara lain karena dua alasan berikut.:

baca juga  Mengugah Api Semangat Bandung Dalam Peringatan 69 Tahun Konferensi Asia-Afrika

 1.Bali mempunyai komunitas dan organisasi sastra budaya yang kuat, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Kedua, Lekra Bali sukses menjadi tuan rumah Konferensi Nasional (Konfernas) Lekra tahun 1962. Sukses Konfernas itu menunjukkan eratnya jaringan dan kerja sama antara Lekra Bali dengan Lekra Pusat dan Lekra daerah lain di Indonesia.

Dalam agendanya, sidang SKE-KPAA yang diikuti delegasi seniman dan budayawan negara-negara Asia Afrika akan dibuka Presiden Sukarno dan ditutup oleh Menlu Subandrio di Hotel Bali, Denpasar—di tempat berlangsungnya Konfernas Lekra setahun sebelumnya.

Tidak jelas apakah Sukarno hadir langsung atau diwakili dalam pembukaan SKEKPAA itu. Yang jelas Sukarno menyampaikan pidatonya yang ringkasannya dimuat di Harian Rakjat (21/7/1963, hlm 1). Dalam amanatnya itu, Presiden Sukarno mendesak pengarang AA berani menjadi manusia yang mampu mengabdikan pikirannya bagi semua Rakyat Asia Afrika, harus melihat sekeliling dirinya, harus menyelidiki, harus menyelam dalam kedalaman dasar jiwa revolusi yang besar ini.

Forum SKE-KPAA di Bali juga menjadi ajang bagi Lekra untuk menyerang-balik kaum reaksioner, yaitu Manikebu, kelompok pendukung Manifes Kebudayaan yang berseberangan dengan Lekra. Awalnya adalah tercetusnya kritik terhadap delegasi Indonesia yang hadir dalam KPAA ke II di Kairo, Mesir.

Delegasi Indonesia yang hadir dalam pertemuan di Mesir waktu itu adalah Sitor Situmorang, HR Bandaharo, Rivai Avin, Karna Radjasa, Anantaguna, Zulkifli Suleiman, Ibrahim Issa, dan Joebaar Ajoeb (Harian Rakjat, 7/4/1961:3). Kehadiran mereka dikecam sebagai ‘ongkang-ongkang saja’ oleh seniman yang mereka sebut reaksioner. Joebaar Ajoeb menolak kritik itu dan mengatakan bahwa kritik itu adalah fitnah.

Menurutnya, delegasi Indonesia justru mendapat dukungan dari negara lain dalam usaha merebut Irian Barat. Dalam Konferensi Kairo itulah Indonesia mendapat kehormatan dipilih menjadi tuan rumah KPAA tahun 1963. Indonesia menunjuk Bali sebagai lokasi pelaksanaan karena Bali sudah sukses melaksanakan Konfernas setahun sebelumnya, 1962.

(Pictured 30 Tahun Kemerdekaan Indonesia:Tampak Dr.Prijono,Menteri Pendidikan Dasar Dan Kebudayaan Indonesia sedang Berbicara)

Dilansir dari (Harian Rakjat, 21/7/1963:1).Dua tokoh sastra terkemuka yang menjadi panitia Pusat SKE-KPAA adalah Sitor Situmorang dan Pramudya Ananta Tur. Dalam pidatonya di depan SKE-KPAA, Pramudya Ananta Tur memuji Bali sebagai pulau kesenian dan pulau kepahlawanan yang dalam sejarahnya sudah ikut melawan imperialisme dan kolonialisme.Pidato itu berbunyi:

Setiakawan Asia Afrika harus dilandasi oleh bahan-bahan Konkret yang dapat ditimbang oleh bunga satu sama lain di masa-masa lalu.Karena itu,kami merasa pentingnya diadakan evaluasi sejarah nasional dan internasional dalam segala seginya dan membakar kerangka sejarah yang dipaksakan oleh Imperialisme dan Kolonialisme di masa kekuasaannya.Evaluasi sejarah Asia Afrika akan membantu melenyapkan perselisihan tidak produktif antar negara Asia Afrika tentang perbatasan,tentang sentiment jago Asia atau jago Afrika ataupun sentiment pengadap Asia Afrika dan terutama sekali untuk menggali fakta-fakta tentang hubungan yang ikhlas antar Asia Afrika jauh sebelum madsuknya penjahat kerumah kita masing-masing.Kita semua maklum bahwa Imperialisme dan Kolonialisme di Asia Afrika telah disusun sejarah menurut kerangka yang dia hendaki,Paling tidak, dia telah korup sebagian dari total kenyataan sejarah.

Indonesia telah jadi saksi perusakan atas fakta-fakta sejarah melalui penghancuran,pembakaran,pencurian yang sama sekali tidak mengenal Nurani.Tropen Institute di Amsterdam tidak lain daripada museum barang sejarah curian dari Indonesia dan kami yakin pengalaman Indonesia dialami oleh negeri-negeri Asia Afrika lainnya.Karena itu juga,kami yakin bahwa Sastra Asia Afrika juga bisa melakukan kegiatan yang sangat penting di bidang evaluasi sejarah . Akhirnya izinkan kami mengatakan “Kami Indonesia bersedia mengulurkan tangan yang aktif dan kuat yang dilaksanakan keputusan-keputusan idang Konferensi yang positif dan real dan tidak lupa menyatakan beribu sukses pada sidang dan peserta.

Seperti juga Konfernas, program SEKPAA di Bali juga sukses dan menghasilkan banyak resolusi. Kesepakatan ini diharapkan bisa berguna untuk kemajuan rakyat Asia Afrika. Sebagai tanda seniman KPAA peduli terhadap Rakyat Bali, terutama yang tertimpa bencana melestusnya Gunung Agung 1963, para peserta menyumbang uang sebesar Rp 205.500 (Harian Rakjat, 23/7/1963:1).

baca juga  The 8th Indonesia-Austria Interfaith and Intercultural Dialogue (IAIID-8): Menyerukan Solidaritas dan Toleransi Lintas Agama

Ketua Panitia Pelaksana SKE-KPAA Bali, Gde Puger, salah satu tokoh penting Bali waktu itu, dalam sambutannya menyampaikan kegembiraan Rakyat Bali sebagai tuan rumah SKE-KPAA. Kegembiraan rakyat Bali ditunjukkan dalam pemasangan poster-poster ‘selamat datang’ kepada ‘teman seperjuangan’ bagi peserta sidang yang terdiri dari para sastrawan dan pekerja-pekerja kebudayaan serta wartawan.

Dalam sambutannya yang dikutip Harian Rakjat (21/7/1963:1) dengan judul “Menyambut Teman Seperjuangan”, Gde Puger juga menekankan bahwa persatuan dan setia kawan merupakan senjata ampuh untuk mencapai kemenangan untuk melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.Dalam sambutan itu, Gde Puger juga menyinggung suksesnya Bung Karno memimpin Rakyat merebut Irian Barat; beliau menetapkan meletusnya Gunung Agung sebagai bencana nasional Dimana pernyataan itu yang membuat hati peserta konferensi terketuk untuk menyumbang. Terang terasa bahwa pidato kebudayaan ini penuh dengan koneksi ke dunia politik dan puja-puji terhadap pemimpin, dalam hal ini Presiden Sukarno.Jadi, dapat digambarkan kalau Bali pernah menjadi tuan rumah bagi sastrawan dari Asia Afrika.

Penulis: Edukator/Senore Arthomy Amadeus

Editor: JT/Cellinda Utami Koesuwandati dan Friska Damayanti

Share :

Baca Juga

Berita

Bakti Sosial Donor Darah bersama Museum Konperensi Asia Afrika

Sejarah

Udah Tahu Belum? Ini Sejarah Panjang dari Hotel Savoy Homann yang Sempat Jadi Tempat Menginapnya Delegasi KAA 1955

Berita

Selamat Kepada Teman-Teman Yang Sudah Diterima Menjadi Anggota Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika!!

Berita

{That Country No Longer Exist} Kerajaan Laos, Salah Satu Negara Peserta KAA 1955 Yang Sekarang Menjadi Negara Republik

Sejarah

Museum Geologi Bandung: Dulu dan Kini

Berita

Pelestarian Semangat Nilai-Nilai Perjuangan pada Fellowship 2021

Berita

Bandung Historical Study Games 2021: A Virtual Tour Museum Challenge

Berita

Milangkala SMKAA ke-12 Usung Tema “The Bandung Spirit Lives on Young Generation”