Home / Global Literasi

Rabu, 9 Agustus 2023 - 09:20 WIB

Konferensi Asia-Afrika dan Diplomasi Kebudayaan Indonesia

Diorama 5 Perdana Menteri negara sponsor Konferensi Asia-Afrika , dan Presiden Sukarno./ Foto: MKAA

Diorama 5 Perdana Menteri negara sponsor Konferensi Asia-Afrika , dan Presiden Sukarno./ Foto: MKAA

GLOBAL LITERASI- 18-24 April 1955 merupakan pekan bersejarah, bukan hanya untuk bangsa Indonesia, tapi juga untuk bangsa-bangsa yang ada di Asia dan Afrika. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Konferensi Asia Afrika ini sukses memicu perhatian dunia, bukan hanya itu saja. Konferensi Asia Afrika yang digelar di Kota Bandung turut juga berdampak terhadap perubahan arus politik internasional, perdamaian dan kerjasama antar bangsa Asia Afrika pada khususnya.

Dibalik kesuksesan Konferensi Asia Afrika 1955, terdapat kisah lain yang hampir terlupakan. Indonesia yang ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggara konferensi mencoba untuk memanfaatkan momen tersebut dengan cara mengenalkan ragam kebudayaan tradisional khas negara Indonesia kepada dunia internasional.

Hal ini bukan tanpa alasan, negeri Indonesia yang masih sangat muda tentu belum begitu dikenal oleh dunia internasional kala itu. Berkumpulnya masyarakat internasional di Bandung kala itu tentu tidak boleh disia-siakan. Ketika perhelatan konferensi berlangsung terdapat aneka ragam kebudayaan yang ditampilkan guna menyegarkan pikiran dan mendinginkan suasana para delegasi yang tentu saja penat dalam sidang yang bertujuan untuk masa depan bangsa Asia-Afrika.

Mari kita mulai dari makanan tradisional Indonesia yang dihidangkan untuk menggoyang lidah para tamu negara. Roeslan Abdulgani menuturkan dalam bukunya yang berjudul The Bandung Connection, bahwa Presiden Sukarno memberikan instruksi untuk menghidangkan makanan khas Indonesia kepada para delegasi daripada makanan ala Barat.

Atas dasar itulah maka hidangan-hidangan khas Indonesia disajikan, seperti Colenak (dicocol enak), ranginang, sate, gulai dan soto. Terdapat kisah menarik tentang makanan-makanan ini. Sebut saja colenak. Colenak yang merupakan makanan khas Sunda yang terbuat dari Peuyeum (olahan singkong fermentasi) lalu dipadukan dengan gula merah dan taburan kelapa ini kala itu dipesan langsung kepada pengusaha colenak yang sempat viral pada masanya. Pengusaha itu bernama Murdi Putra. Beliau telah berjualan colenak sejak tahun 1930, dan sejak itu colenaknya dikenal dan disukai oleh masyarakat, sehingga turut serta disajikan untuk para tamu delegasi KAA.

baca juga  Menerapkan Program Peer Counseling Online dan Intervensi Pencegahan: Peran Mahasiswa dalam Membangun Ketahanan Mental di Era Society 5.0

Lalu sate dan gulai pun memiliki kisahnya tersendiri. Kedua sajian tersebut dipasok langsung dari rumah makanan kesukaan Pak Sukarno sejak beliau tinggal di Bandung. Rumah makan ini bernama Rumah Makan Madrawi. Rumah makan yang dahulu berlokasi tepat di dekat Masjid Raya Bandung ini bahkan didatangi langsung oleh Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru.

Selain makanan tradisional, turut pula disajikan pentas kesenian di Gedung Pakuan. Ketika para delegasi menghadiri jamuan di Gedung Pakuan, pentas tari merak turut ditampilkan untuk menghibur para delegasi.  Daeng Sutigna pun turut andil dalam pementasan seni ini. Beliau turut serta dalam menampilkan angklung diatonik hasil inovasinya.  Daeng merupakan guru dari sang pemilik Saung Angklung Ujo, yaitu  Ujo Ngalagena. Berkat inovasinya, Angklung diatonik masih kerap digunakan oleh masyarakat dalam pementasan kesenian angklung pada masa kini. Para tamu negara, khususnya ibu negara pun diperkenankan untuk mencoba memainkan alat musik angklung ini, seperti salah satunya ialah istri Perdana Menteri Pakistan, Ny. M. Ali yang mencoba memainkannya 

baca juga  Sampai Merayu

Sebuah fashion show juga turut dilaksanakan di Hotel Savoy Homann. Para wanita cantik berlenggang mengenakan pakaian batik. Fashion show inipun bukan sembarang kegiatan. Ini dilakukan untuk kegiatan amal sosial pada tanggal 25 April 1955. Para tamu undangan dipersilahkan untuk membeli tiket masuk sebesar Rp. 25 dan uang yang terkumpul akan diberikan kepada sebuah panti sosial di Bandung.

Gelaran pameran batik sebelumnya turut pula dilaksanakan di Gedung Naga Mas yang kini dijadikan sebagai Gedung BRI, yang ketika KAA berlangsung menjadi tempat pameran batik berlangsung. Para tamu undangan sangat antusias melihat batik-batik khas Indonesia yang dipamerkan kala itu. Bahkan, bila berkunjung ke Museum Konferensi Asia-Afrika terdapat foto yang memperlihatkan seorang delegasi dari Ghana tengah menikmati acara pameran batik tersebut.

Konferensi Asia-Afrika 1955 pada akhirnya bukan hanya sebagai momen kebangkitan bangsa Asia Afrika semata, namun juga sebagai ajang mempromosikan kebudayaan khas Indonesia kepada bangsa Internasional, dan sudah menjadi kewajiban untuk masyarakat Indonesia agar selalu berbangga dan melestarikan ragam kebudayaan asli dari Indonesia.

Sumber :

Abdulgani, Roeslan. The Bandung Connection. (2011). Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Syafii, Sulhan & Ully Rangkuti. Di Balik Layar: Warna-Warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelaku. Bandung: TNC Publishing.

Editor  : JT/Muhamad Iqbal Alhilal

Penulis: Global Literasi/ Bambang Muhamad Fasya Azhara

Share :

Baca Juga

Global Literasi

Menerapkan Program Peer Counseling Online dan Intervensi Pencegahan: Peran Mahasiswa dalam Membangun Ketahanan Mental di Era Society 5.0

Global Literasi

Kalut, Siasat, dan Peluru yang Direbut

Global Literasi

Kota Praja

Global Literasi

Ulasan Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori

Global Literasi

Resensi Novel Tentang Kamu Karya Tere Liye

Global Literasi

Sampai Merayu

Global Literasi

Petuang Sang Pohon kepada Kura-kura dan Kelinci (Cerita Pendek)

Global Literasi

Sinyo