oleh Ristia Nurul Kamila
Mati, mati, mati…
Sudah hampir 2 bulan lamanya aku disekap dalam ruang gelap, sempit, lembab, dipadu dengan bau tak jelas yang menusuk indra penciumanku. Aku mendengar suara sepatu yang bergesekan dengan lantai “sret, sret, sret.” Semakin lama semakin terdengar jelas suara itu mendekati ruang tempatku disekap. Pintu terbuka “kreet..” Aku melihat orang yang menyekapku berjalan ke arah tempatku tergeletak tak berdaya, dengan tangan dan kaki terikat, aku memberinya tatapan tajam seolah aku akan membunuhnya detik itu juga, jika ia mencoba berjalan lebih dekat ke arahku.
Lelaki itu tak menghiraukan tatapan tajam yang kutampakan, ia berjalan dan menatap ke arahku seolah aku adalah makhluk hina rendahan. Ia mengeluarkan sehelai kain hitam yang aku sendiri ‘tak tau untuk apa.
“Sial, dia menggunakan sehelai kain itu untuk menutupi mataku, aku mau dibawa kemana? Tolong aku.” Jeritku dengan kesusahan.
Aku memberontak dengan sekuat tenaga, tapi ‘tak ada gunanya, tenagaku jelas kalah besar dari lelaki itu. Mataku ditutup, tangan dan kakiku diikat. Aku dipaksa untuk berdiri.
“Hei, apakah dia tak bisa melihat mataku ditutup kain, tangan dan kakiku terikat seperti ini? Mau dibawa ke mana diriku oleh orang-orang ini?” Ocehku dalam hati.
“Hei, bisa lebih cepat ngga sih jalannya. Lambat sekali.” Oceh si lelaki yang memaksaku berdiri, eum, aku menyebutnya si perokok, karena saat dia datang aku selalu mencium aroma asap rokok yang menyerbak darinya.
Aku tak menjawab apapun, aku sudah ‘tak ada tenaga untuk hanya sekedar membuka mulut. Aku ‘tak tau akan dibawa kemana, aku hanya pasrah ditarik secara kasar mengikuti langkah kaki mereka yang jenjang, walau aku protes jika jalanku terseok-seok mereka tak akan peduli. Entah di mana, tapi aku merasa aku ada di tempat yang berbeda di mana mereka menyekapku di awal. Sepertinya aku ada di ruang tuan besar mereka, atau ruangan apa aku ‘tak tau. Yang pasti aku tidak mencium aroma aneh yang membuat indra penciumanku sakit. Aku mendengar suara seseorang yang aku sangat kenali, tapi aku ragu kalau dia adalah orang yang kukenali.
“Kalian sudah membawa Mawar? Apakah ia memberontak?” Ucap lelaki yang terasa familiar di indra pendengaranku.
“Iya, Tuan, kami membawanya. Dia memberontak saat kami akan menutup matanya.” Ucap si lelaki perokok tersebut.
Tak lama setelah perbincangan antara si lelaki perokok dan si tuan, kain yang menutupi mataku dibuka oleh si perokok. Aku mengerjapkan mataku untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke netra. Kuperhatikan sekeliling di mana aku berada sekarang ini. Pandanganku terus meneliti sekitar, sampai akhirnya netraku tertuju pada seseorang yang suaranya sangat aku kenali. Aku ragu apakah ia orang yang kukenal, atau hanya mirip suaranya saja. Sadar tengah diperhatikan, lelaki yang memunggungi Mawar, membalikkan badannya, matanya bertemu dengan mata Mawar.
Beberapa hari sebelum kabar hilangnya Mawar, ia bertemu dengan Arkala sang kekasih di halaman kosan Arkala untuk mengambil barangnya yang tertinggal di kosan sang kekasih. Arkala, mahasiswa program studi Kajian Film dan Televisi, ia akrab disapa Arka atau Kala. Perawakannya yang urakan jelas menggabarkan ia dari fakultas seni. Mungkin begitu stereotype masyarakat pada seniman.
Mungkin banyak orang mengira dari penampilannya orang-orang akan menganggapnya nakal, tidak punya sopan satun, dan tidak punya masa depan yang baik. Nyatanya penampilan dan sikapnya berbanding terbalik. Arkala adalah orang yang berperilaku baik pada semua orang, Arkala yang menemaniku pergi ke Psikolog. Iya Psikolog.
Pertengkaran hebat antara aku dan kedua orang tuaku, akhirnya membuat aku pergi untuk menenangkan diri sementara waktu. Arkala selalu menemaniku setiap waktu. Sampai suatu hari hal besar terjadi menimpaku. Di mana aku menjadi buah bibir satu kampus, yang disebabkan orang tuaku yang datang ke kampus dan menghampiri kaprodi fakultasku. Kedua orang tuaku bertanya mengapa aku ‘tak pernah pulang selama 2 bulan, pihak kampus pun memberitahukan bahwa aku sudah tak pernah masuk kelas lagi semenjak pertengahan semester.
Ibuku tentu terkejut mendengar hal itu. Karena masalah ini, kedua orang tua kandungku, nenek, sahabatku, serta Arkala diintrogasi oleh pihak kepolisian atas kasus hilangnya Mawar Respati. Tapi tak kunjung mendapatkan titik terang di mana aku berada.
Aku terkejut melihat siapa lelaki yang menyuruh si perokok itu menyekapku. Sungguh aku tidak percaya. Rasanya aku tidak bisa bereaksi apa-apa lagi. Lidahku rasanya kelu, dadaku sesak sekali, aku ingin menangis, tapi air mataku tertahan. Lelaki dari dalang penyekapanku adalah Kepala Program Studi Fakultasku sendiri.
“Aku tak mengerti apa yang membuatnya harus menyekapku seperti ini? Apakah karena waktu itu aku tak sengaja mendengar obrolan Pak Kaprodi dengan sesorang yang membahas penggelapan dana? Ah, aku paham sekaraang, jadi beliau takut jika aku akan menyebarkan informasi itu? Sungguh manusia licik.” Ucapku dalam hati dengan penuh emosi.
Tak lama setelah kuketahui siapa dalang di balik penculikanku si perokok dari belakang menodongkan sapu tangan yang telah diberi obat bius kepadaku, ‘tak lama kemudia aku sudah ‘tak sadarkan diri.
Aku merasakan dingin di sekujur tubuhku, “Di mana aku? Mengapa tempat ini sangat gelap dan sesak? Apakah ini akhir dari hidupku? Jika iya, tolong sampaikan kepada ibu dan ayahku, bahwa aku menyayangi mereka berdua, maaf jika aku belum sempat meminta maaf kepada kalian di hari di mana aku bertengkar dengan kalian. Jangan menangis. Aku tidak apa- apa. Jiwaku akan terus bersama kalian. Tolong doakan aku.” Ucapku lirih dan tertatih-tatih dengan keadaan seluruh tubuh terasa kaku dan membiru. Tanpa Mawar sadari setitik air mata turun dari ujung matanya saat ia menutup mata.
“Berita terkini disampaikan oleh reporter CSC Anjani Labibah dari TKP Bogor, Jawa Barat. Anjani bagaimana situasi di TKP?” Tanya pembawa berita di studio CSC.
“Situasi terkini di TKP bisa dilihat bahwa sudah banyak garis polisi yang terpasang di sekitar area TKP penemuan mayat wanita yang belum diketahui identitasnya.” Ucap Anjani yang melaporkan dari tempat kejadian perkara.
“Apakah sudah ada laporan mengenai orang hilang dari kepolisian Bogor?” Tanya pembawa berita di studio CSC.
“Untuk saat ini sudah ada beberapa laporan mengenai orang hilang yang dilaporkan oleh kepolisian Bogor, namun kasus orang hilang tersebut belum bisa di pastikan apakah mayat di TKP merupakan salah satu dari kasus orang hilang.” Balas Anjani dari tempat kejadian perkara.
Di rumah yang tak begitu besar dan luas tersebut diselimuti oleh kabut kekhawatiran menunggu kabar sang cucu dan anak dari keluarga tersebut. Nenek Mawar selalu berdoa untuk keselamatan Mawar di mana pun sang cucu berada, dan kedua orang tua Mawar terus-menerus menghubungi kepolisian untuk menanyakan kelanjutan kasus Mawar hingga kedua orang tua Mawar rela menyewa detektif untuk menemukan keberadaan sang anak.
“Halo, kami dari kepolisian Bogor apakah benar ini orang tua dari Mawar Respati?” Ucap Kepala Bareskrim Bogor.
“Benar, Pak. Saya orang tua dari Mawar Respati. Apakah sudah ada kabar mengenai anak kami, Pak?” Tanya orang tua Mawar dengan tergesa.
“Sudah ada kabar mengenai anak bapak dan ibu, jika bisa sekarang bapak dan ibu menuju Rumah Sakit Picho. Saya tunggu di sana.” Balas kepala Bareskrim Bogor.
Tak berselang lama kedua orang tua serta nenek dari Mawar Respati mendatangi Rumah Sakit Picho seperti yang sudah dikatakan oleh kepala Bareskrim Bogor. Dengan tergesa-gesa kedua orang tua serta nenek Mawar terus berjalan dan menghiraukan sekitar, sampai akhirnya kedua orang tua serta nenek Mawar tiba di depan ruangan yang bertuliskan “Ruang Jenazah” di mana sudah banyak polisi berkumpul di depan ruangan tersebut.
“Pak, di mana Mawar anak saya?! Kenapa saya malah dibawa kesini!” Tanya ibu dari Mawar dengan marah dan jantung yang terus berdegup kencang.
“Ananda Mawar Respati ada di dalam ruangan ini, Pak, Bu. Silakan masuk.” Ucap kepala Bareskrim Bogor.
“Bapak jangan bercanda, anak saya nggak mungkin sudah mati, Pak. Anak saya masih hidup! Pah, anak kita Mawar masih hidup, Pah. Bu, cucu ibu pasti masih hidup, Bu.” Ucap ibu dari Mawar sembari berteriak denial.
Tidak lama kemudian ibu dari Mawar pingsan akibat kelelahan. Polisi yang berdiri di sekitar ruang jenazah membantu membopong ibu dari Mawar tersebut untuk dibawa ke UGD (Unit Gawat Darurat).
“Pah, Mawar mana, Pah? Mawar anakku masih hidup, Pah. Bu, anakku Mawar mana, Bu? Cucu ibu masih hidup, Bu. Mawar anakku masih hidup!” Teriak ibu Mawar dari ruang rawat inap.
“Hei, kamu tenang dulu. Kamu ini ngomong apa? Mawar mati? Mawar masih hidup kok, anaknya sehat. Kamu mimpi, ya? Kamu itu habis kecelakaan mobil pasti deh kamu mimpi yang aneh-aneh.” Ucap sang suami atau ayah dari Mawar.
“Aku kecelakaan mobil? Pah, yang bener aja kamu! Kita baru aja dari depan ruang jenazah Mawar! Aku mau lihat anakku untuk terakhir kali, Pah!” Ucap sang istri dengan emosi yang meluap-luap.
Tidak berselang lama pintu ruang rawat inap terbuka dan menampakkan seorang gadis muda yang diketahui bernama Mawar Respati. Ia memasuki ruang inap sang ibu dengan muka keheranan.
“Mamah kenapa? Pah? Mamah kenapa itu? Kok mukanya panik begitu?” Tanya Mawar keheranan.
“Mawar? Mawar anakku? Kamu masih hidup, Nak?” Ucap sang ibu berderai air mata.
“Iya, aku Mawar anak mamah dan papah, kenapa sih?” Balas Mawar kebingungan sembari melihat ke arah sang ayah.
“Nggak apa-apa, kayaknya mamahmu kecapean aja terus mimpi buruk jadi begitu.” Balas sang ayah dan diangguki sang nenek.
Seminggu kemudian sang ibu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter setelah melewati banyak tes kesehatan. Ditemani sang anak, Mawar, kini ia dan Mawar membereskan barang- barang dan bergegas keluar dari ruang rawat inap dan menemui sang ayah di meja informasi setelah mengurus administrasi rumah sakit.
Tanpa mereka sadari sedari tadi ada seorang gadis muda berkulit pucat yang melihat mereka dengan tatapan iri, dengki, dan benci. Raut amarah di wajahnya begitu menakutkan.
“Lain kali kau pasti mati.” Ucapnya lirih namun penuh dengan penekanan.