SMKAA-Saat ini kita mengenal Konferensi Asia Afrika hanya yang dilaksanakan pada tahun 1955 dimana bertujuan adanya perdamaian di Dunia Internasional serta menjadi cikal bakalnya Dasasila Bandung yang saat ini dijadikan sebagai piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ternyata ada konferensi yang digerakkan oleh kaum Perempuan yang dilaksanakan pada tahun 1958 yang disebut Konferensi Wanita Asia Afrika.
Konferensi Wanita Asia Afrika merupakan salah satu konferensi yang diperani oleh kaum Perempuan yang bertujuan agar perjuangan KAA 1955 tersebut dapat diterapkan di berbagai perjuagan termasuk Konferensi Wanita Asia Afrika ini.
Menurut Tirto.id disebut Pasca KAA 1955, semangat solidaritas Asia-Afrika menggelora di mana-mana. KAA yang awalnya merupakan konferensi tunggal, kemudian disusul oleh konferensi-konferensi lain yang membawa semangat solidaritas serupa.
Konferensi Wanita Asia Afrika ini tidak dilaksanakan sama halnya dengan KAA yang dilaksanakan di Bandung,melainkan di Ibu kota Sri Lanka yakni Kolombo. Menurut Nyonya S. Suharti melalui tulisannya dalam kolom Ruangan Wanita di surat kabar Harian Rakjat menulis bahwa berbagai catatan sejarah yang menggaris bawahi peran wanita dalam perjuangan nasional di masing-masing negara.
Masih menurut Nyonya S.Suharti bahwa hal tersebut penting untuk membahas permasalahan yang menyengsarakan wanita di Asia-Afrika, seperti kewarganegaraan, kesejahteraan sosial-ekonomi, pendidikan, perburuhan, serta perbudakan dan perdagangan wanita. Lebih lanjut lagi, Beliau menekankan pentingnya pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menaruh perhatian lebih pada KWAA, karena bisa memberikan sumbangan bagi implementasi Dasa Sila Bandung, utamanya bagi perjuangan anti-kolonialisme.
Latar belakang dan suasana Konperensi Wanita Asia Afrika 1958
KWAA diselenggarakan di Kolombo pada 15-24 Februari 1958. Panitia KWAA mengirimkan undangan kepada 29 negara, tetapi hanya 18 negara yang bisa hadir. Ke-18 negara itu adalah Afghanistan, Burma, Jepang, Filipina, India, Indonesia, Iran, Mesir, Mongolia, Muangthai, Pakistan, Sri Lanka, Singapura, Tiongkok, Tunisia, Turki, Uganda, dan Vietnam
Menurut Harian Rakjat pada 17 Februari 1958 menyampaikan bahwa 18 negara tersebut, ditambah dengan delegasi tamu, jika ditotal ada 116 delegasi. Lalu, menurut Mutiah Amini dalam Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (1928-1998) merinci nama-nama wanita yang menjadi delegasi Indonesia.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Maria Ulfah Santoso yang mana merupakan mantan Menteri Kesehatan RI Kabinet Sutan Sjahrir dengan beranggotakan Nyonya dr. Hurustiati Subandrio, Nyonya Nani Suwondo, Nyonya Kartini K. Radjasa, Soehartini, Nyonya Suyono Prawirobismo, S.K. Trimurti, dan Nyonya Iljas Sutan Pangeran.
Maria Ulfah sebagai ketua delegasi Indonesia sempat “beraksi” di KWAA. Begitu sampai di Kolombo, ia langsung berdebat dengan steering committee yang menyampaikan aturan bahwa permasalahan politik dilarang untuk diperbincangkan. Perdebatan tersebut terjadi karena Maria Ulfah bermaksud berbicara mengenai permasalahan Irian Barat.
Gadis Rasid melalui karangannya, Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya menuturkan bahwa saat perdebatan inilah Maria Ulfah mulai mempertunjukkan kemampuan diplomasinya untuk melobi orang-orang di steering committee. Ia mengatakan bahwa sangat tidak mungkin untuk menyortir 40 pidato yang sudah disiapkan dari negara asalnya. Menyortirnya akan memakan waktu yang terlampau banyak. Lebih baik, biarkan saja para perwakilan delegasi menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Nanti, apabila ada yang membahas mengenai permasalahan politik, cukuplah tidak perlu disertakan dalam dokumen resolusi.
Steering commitee pun merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Maria Ulfah ada benarnya dan mereka menyetujuinya. Akhirnya, Indonesia pun bisa membicarakan Irian Barat, begitu pula negara lain dengan permasalahan politiknya masing-masing.
Keesokan harinya, Maria Ulfah dilabrak oleh delegasi Turki. Gara-gara lobi yang dilakukannya, Tiongkok bisa berpidato tentang Taiwan dan pidatonya diterbitkan di surat kabar. Maria Ulfah pun menanggapinya dengan tenang. Ia mengatakan bahwa pidato Tiongkok merupakan pesan dari orang-orang Tiongkok. Pesan yang tidak akan dimuat dalam resolusi, sehingga tidak akan mempengaruhi konferensi. Sikap tenang dari Maria Ulfah dipuji oleh Adisheshah, perwakilan dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
“Tanpanya, konferensi bisa menjadi kacau dan buruk,” begitulah kira-kira ucapan dari Adisheshah.
Aksi lain juga datang dari delegasi Tiongkok. Setiap kali perwakilan PBB menyampaikan laporannya mengenai peran mereka di negara-negara Asia-Afrika, delegasi Tiongkok justru keluar dari ruangan (walk out).
Mengutip dari Harian Rakjat, pada 3 Maret 1958 ketua delegasi Tiongkok, Shih Liang menyampaikan keberatannya terhadap PBB. Menurutnya, PBB terlalu ikut campur dalam urusan negaranya. Tidak semua hal perlu dicampuri oleh PBB, karena negara juga membutuhkan otoritasnya sendiri. Kendati begitu Tiongkok menegaskan bahwa aksi walk out mereka, tidak akan mempengaruhi konferensi. Mereka tetap mendukung penuh suksesnya konferensi.
KWAA juga membahas soal kejahatan pada wanita. Dalam Sidang Istimewa yang dipimpin oleh Nona Kyi Yi Min dari Burma, Nona Theo Mangtjun dari Tiongkok beranggapan bahwa kemelaratan ekonomi menjadi penyebab munculnya prostitusi di sana-sani. Sedangkan, Nyonya F.B. Demel dari Sri Lanka mengatakan akar prostitusi ialah nafsu laki-laki yang berlebihan.
Nyonya Lakshmi Menon dari India juga menambahkan bahwa selama ini orang-orang hanya berfokus pada rumah-rumah bordil yang secara tidak langsung justru melanggengkan suatu hal yang kurang baik. Urusan prostitusi perlu diselesaikan dari akarnya, bukan dari sesuatu yang terlihat di permukaan. Begitulah yang tertulis dengan tegas dalam Harian Rakjat, 22 Februari 1958.
Selain suara orang-orang Asia, orang-orang Afrika juga menunjukkan tajinya dengan menyampaikan permasalahan di Aljazair. Delegasi Tunisia menceritakan tentang hukuman mati dari Pemerintah Prancis kepada 4 pejuang perempuan dari Aljazair.
Delegasi Indonesia sebelumnya sudah mengetahui cerita tersebut. Bahkan pada rapat pleno 31 Januari 1958 melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Indonesia telah menyampaikan resolusi yang memprotes tindakan Pemerintah Prancis itu.
DPR menyatakan bahwa hukuman mati merupakan sesuatu yang melanggar asas-asas kemanusiaan. Dalam KWAA, Indonesia bersama dengan negara lain menegaskan sikapnya. Mereka menyatakan simpati sedalam-dalamnya atas kejadian buruk yang menimpa Aljazair, sekaligus mengecam Pemerintah Prancis.
Menurut Literatur berjudul Maria Ulfah Santoso Sang Diplomat yang memperjuangkan Nasib Asia Afrika menyebut Maria dan Kowani memperbaiki kedudukan perempuan dan memperjuangkan hak dalam periode poskolonial Asia dengan menghadiri Konferensi Wanita Asia-Afrika di Kolombo. Terselenggaranya konferensi tersebut didasari oleh Konferensi Asia Afrika 1955 yang mempertemukan dan mendiskusikan masalah dasar yang dialami perempuan dan anak di negara Asia-Afrika.
Pada Konferensi Wanita Asia-Afrika, Maria sebagai ketua delegasi Indonesia ngotot untuk mendiskusikan masalah perempuan dan politik ketika konferensi cenderung ‘nonpolitis’ karena tidak ingin membicarakan masalah tersebut. Pada akhirnya, Indonesia menyampaikan pesan gerakan perempuan, mengangkat masalah Irian Barat, hingga hukuman mati empat perempuan pejuang kebebasan Aljazair oleh Prancis.
Maria Ulfah sebagai perwakilan delegasi dari Indonesia menyampaikan manifesto agar kebebasan dan perdamaian Asia dapat terbentuk dengan melawan ancaman yang paling mematikan, yaitu kolonialisme. Sayangnya manifesto tersebut ditolak karena delegasi dan inisiator konferensi bersikeras mempertahankan karakter ‘nonpolitis’. Meski demikian, Konferensi Wanita Asia-Afrika berhasil membuka gerbang kerja sama gerakan perempuan bagi negara Asia dan Afrika.
Penulis: Edukator/Senore Arthomy Amadeus
Editor: Edukator/Senore Arthomy Amadeus