Globlit-“Maah, aku berangkat, ya.” ucap Rompy sambil membawa tas ranselnya dengan sedikit terburu-buru.
“Rompyy, jangan lupa bekalnya,” teriak mamah sambil kepalanya nongol dari pembatas pintu antara dapur dan ruang utama untuk memastikan bekal Rompy.
“Oh, iya,” Rompy yang sudah berada di daun pintu pun langsung menghentikan lari kecilnya dan kembali ke meja makan di mana bekalnya berada.
“Haduuh, Rompy, kamu selalu saja ceroboh.” ucap mamah sambil menggelengkan kepala. “Selain itu, ada satu hal lagi yang kamu lupakan.” kembali mamah berucap tanpa melanjutkan kalimatnya berharap Rompy mengingatnya sendiri.
Melihat Rompy yang kebingungan dengan “ah” panjang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, mamah pun memecah kesunyian dengan berkata dengan agak kecewa, “Ayolah, Rompy Sayang. Kamu belum salam ke mamah. Bagaimana bisa kamu melupakan hal tersebut.”
“Oh, iya, Mah.” Rompy pun memberikan salam ke mamahnya dengan kecupan.
Setelah itu Rompy pun kembali dengan lari kecilnya sambil berceloteh dengan riang izin pamit dengan mamahnya.
“Hati-hati, Nak,” ucap mamah diiringi dengan senyuman tipis.
“Iya, Mah.”
Mamah pun kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
Dilewatinya oleh Rompy halaman kecil depan rumahnya, gerbang kayu kecil yang berdecit, dan jalan perumahan untuk mecapai jalan raya guna menaiki angkot untuk ke sekolahnya. Tidak terlalu jauh. Hanya perlu sekitar 5 menit untuk sampai ke jalan raya dari rumahnya.
Sebelumnya, kita belum berkenalan lebih jauh tentang anak kecil lucu dan bersemangat ini, ya? Perkenalkan, namanya Rompy Falgana Iliosa. Ia adalah seorang anak kecil yang duduk di kelas 5 SD dan hidup hanya dengan ibunya. Ayahnya telah meninggal sejak Rompy berusia 3 tahun, dan dia adalah anak satu-satunya. Namun, dengan keadaan tanpa ayah, tak membuat Rompy dan ibunya berlarut dalam kesedihan. Karena mereka percaya, banyak kesenangan yang disediakan oleh kehidupan ini. Hidup terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk bersedih. Masih banyak hal yang perlu ditertawakan.
Kembali dengan Rompy di tempat — yaelah, kayak pembawa berita aja, ya. Kali ini ia sudah berada di dalam angkot dan sibuk dengan pikirannya yang sedang mastikan barang-barang sekolahnya. Saking seriusnya, alisnya sampai menukik tajam. Tas udah. Bekal udah dibawa. Alat tulis udah. Uang?! Rompy pun langsung merogoh saku celananya. Ternyata sudah tersimpan dengan baik.
Buku pelajaran udah semua belum, ya? Kayaknya udah semua deh.
Kegiatan pikir-memikir Rompy pun terhenti ketika Rompy melihat plang nama sekolahnya. Sontak ia pun langsung berkata, “Kiri, Mang!”
Turunnya dari angkot, tidak membuat Rompy menghentikan kegiatan memastikan barang-barangnya yang hanya dilakukan di dalam kepalanya — pantas saja Rompy selalu ceroboh, bukan? Ia tidak benar-benar mengecek barang-barangnya.
Sesampainya di kelas 5-D, Heri, teman sebangkunya Rompy, langsung bertanya ketika melihat Rompy masuk kelas dengan wajah yang mengerut tak karuan. “Rompy, kamu kenapa? Kok mukanya jelek banget sih kayak kambing kepedesan?”
“Hehehe… Ini, Ri, aku lagi mikir keras mastiin barang-barang sekolah aku. Serasa ada yang ketinggalan, tapi apa, ya?” Rompy menjawab sambil melepaskan tasnya di bangku
“Kamu udah mengeceknya lagi, Py?”
“Belum.” jawab Rompy polos.
“Kamu seharusnya mengecek lagi, Py. Masa cuman dipikirin doang. Gimana kamu bisa tau udah lengkap atau belum.” ujar Heri berlagak menceramahi.
“Iya juga, ya. Coba aku cek lagi.” Rompy pun membuka tasnya untuk mengecek barang-barangnya satu per satu. “Alat tulis udah. Buku tulis udah…” ia mengecek hanya dengan melihatnya ke dalam tas sambil menyentuhnya dengan jemari kecilnya. Begitulah Rompy. Ceroboh. Enggak benar-benar mengeceknya.
“Buku Matematika ada. Seni budaya ada. IPA ada…” ujar Rompy dibarengi sahutan Heri yang memastikan.
“Oke, semua lengkap!” kata Rompy sambil mengacungkan jempol kepada Heri.
Pelajaran pertama dan kedua terlewati dengan penuh khidmat dan tanpa masalah, hingga bel istirahat pun berdering. Rompy pun memanfaarkan istirahat ini dengan pergi ke kantin untuk jajan dan bersenda-gurau dengan teman-temannya.
Tak lama kemudian bel tanda masuk kelas pun berbunyi.
Rompy di tempat duduknya dengan santai berkata kepada Heri, “Ri, sekarang kita pelajaran apa?”
“IPA, Py.”
“Oke.” Rompy pun membuka tasnya dan mengambil buku paket dengan tulisan IPA di depannya yang terlihat dari luar tas. Sesaat setelah buku tersebut dikeluarkan, tangan Rompy bergetar, sekujur tubuhnya menggigil dan dipenuhi keringat. Tak lama kemudian Rompy pun ambruk sambil kejang-kejang dan mulutnya dipenuhi dengan busa! — eh, enggak deng, itu hanya ada di alam imajinasi Rompy saja. Kalian tau apa yang membuat Rompy berpikir seperti itu? Ternyata Rompy salah bawa buku! Ia hanya melongo ketika melihat buku yang dia pegang adalah buku IPA (Ini Punya Aku) buku kumpulan cerita pendek anak, bukannya buku paket Ilmu Pengetahuan Alam.
Ceritanya kejadian ceroboh ini diakibatkan Rompy yang biasa memasukkan perlengkapan sekolah ke tas ketika bangun tidur. Nah, karena semalam Rompy baru membaca buku IPA kumpulan cerpen tersebut, lalu menaruhnya di rak buku pelajaran, akibatnya ketika bangun, waktu Rompy masih terkantuk-kantuk, tak sengaja Rompy memasukkan buku tersebut. Haduh, ceroboh sekali bukan Rompy? Lain kali mempersiapkannya semalam sebelumnya ya, Rompy.
****
Melihat Rompy yang terpaku, Heri bertanya heran. “Rompy, kamu kenapa diem gitu kayak patung?”
Dengan masih melongo Rompy pun memperlihatkan buku yang dipegangnya.
Tak lama, Heri pun menyadarinya. “Hayoloh, Rompy, pasti kamu bakal kena hukum sama Pak Kusni.”
“Aduh, Ri, gimana nih?”
“Yaa, gak tau. Kok nanya ke aku sih? Kan itu masalah kamu, Py.” yaa, begitulah Heri, teman sebangku Rompy. Meskipun dia baik, di lain sisi juga dia orang yang cuek.
Di saat suasana kelas riuh dengan obrolan dikarenakan guru yang belum masuk, sementara Rompy sibuk dengan pikirannya untuk menemukan ide agar tidak kena hukum Pak Kusni. Ia sampai mondar-mandir, ke sana kemari; berdiam diri dari pojokan ke pojokan lain untuk mencari ide. Bukannya tanpa alasan Rompy sampai risi begini. Tentu alasannya tak lain dan tak bukan adalah Pak Kusni seorang guru yang galak.
Sesosok monster yang menjadi pengibaratan Pak Kusni di imajinasi Rompy tak membuatnya ciut dan menyerah, karena ia selalu ingat kata-kata mamah yang mereka teriakan berkali-kali di teras rumah, “Ketika kamu mendapat masalah, fokus untuk mencari solusinya! Ketika kamu mendapat masalah, fokus untuk mencari solusinya!!” teriak mereka berdua kala itu di teras berulang-ulang. Sampai-sampai ada orang yang bengong memandang kelakuan mereka. Biasanya setelah saling pandang-memandang dan orang tersebut melengos pergi keheranan, mereka berdua pun tertawa.
Ternyata tanpa disadari Rompy, ia menggumamkan kata-kata tersebut. Seketika saat menggumamkannya, ia teringat obrolannya dengan Tono — teman kelas sebelah Rompy — waktu di kantin yang bercerita kejadian lucu waktu pelajaran Pak Kusni sebelum istirahat. Rompy pikir, karena Tono bercerita seperti itu, pasti ia membawa buku paket IPA.
Mumpung Pak Kusninya belum masuk kelas, Rompy pun bergegas.
“Mau ke mana, Py.” Heri yang sedang menggambar abstrak di buku tulisnya bertanya.
“Mau mencari solusi.” jawab Rompy singkat.
Ia terlebih dahulu mengecek koridor sekolah. Sepi ternyata. Setelah memastikan, ia mencoba mencari-cari Tono dari jendela yang tertutup rapat. Nah, itu dia! Kebetulan sekali Tono duduk persis dekat jendela dan posisinya agak di belakang. Selain itu, kebetulan juga guru yang mengajar sedang memunggungi murid-murid. Kebetulan yang sangat menguntungkan sekali bagi Rompy. Bener kan apa kata pepatah, “Setiap masalah pasti ada jalannya”.
Tanpa menunggu, Rompy pun langsung mengetuk jendela. “Pssstt, Tono!” ujar Rompy dengan suara teriak yang tertahan, dan dengan muka yang tidak tenang, sampai mengerut-ngerut.
Dengan sedikit terkejut, Tono pun memalingkan wajahnya ke jendela. Rompy? Ia kebingungan.
Namun kebingungannya harus terhenti sementara, karena guru yang sedang menulis di papan tulis tersebut menyadari ada sedikit kegaduhan dengan bertanya, “Hei, ada apa itu berisik-berisik?”. Kelas hanya hening dan Rompy yang menyadari hal itu langsung jongkok untuk ngumpet.
Setelah menunggu beberapa saat, Rompy pun nongol lagi. Kembali dengan ketukan, suara teriakan tertahan, dan muka yang mengerut-ngerut.
Dengan perasaan khawatir campur heran, Tono berusaha bertanya dengan berbisik sambil posisi agak berdiri untuk menyejajarkan ke jendela.
Teman-teman Tono pun hanya melihat dengan bingung.
Setelah beberapa gerakan mulut dan tubuh yang saling tidak dimengerti, karena terbawa suasana, Tono pun tidak menyadari kalau guru yang mengajar mulai mendekati dirinya.
Rompy yang melihat hal tersebut pun langsung ngumpet ke bawah dan buru-buru merangkak masuk ke kelasnya. Sementara Tono yang awalnya heran, mulai mengeluarkan keringat dingin ketika merasa aura-aura monster mendekat. Ia pun hanya terdiam gemetar ketika memalingkan wajahnya. Ya, mau bagaimana lagi? Udah ketangkap basah.
Sementara Rompy yang bersembunyi di kelasnya pun berusaha mengintip. Ketika tahu Tono sedang diomeli di luar kelas, ia cekikikan. Parah banget ya, Rompy? Dia yang ceroboh, orang lain juga kena getahnya. Haduh, Rompy.
Namun, cekikikan ngakak Rompy tak bertahan lama. Ia kembali berpikir keras agar tidak kena hukum Pak Kusni. Sayangnya, sebelum Rompy menemukan ide lain, Pak Kusni datang.
Semua hening ketika Pak Kusni berada di kelas. Tenang dan sunyi. Hanya pikiran Rompy yang gaduh. Aduuhh… gimana, ya? Cara apa lagi nih, Py? ucap isi pikiran Rompy. Hmmm… oh! Rompy, kamu akan mengelabui Pak Kusni seperti kancil mengelabui buaya! Rompy kancilnya, Pak Kusni buayanya. Hahaha… eh, Rompy, fokus, fokus. Oke, nanti pas Pak Kusni ngecek masing-masing buku siswa, aku bakal pura-pura baca. Pas Pak Kusni mencoba memastikan buku aku, aku bakal ngasih liat Pak Kusni buku IPA (Ini Punya Aku) sekilas sambil menutup tulisan kecil “Ini Punya Aku”. Keren, ide cemerlang, Rompy!
Rompy pun berusaha tenang.
“Heri, mana buku paketmu?” tanya Pak Kusni yang sedang melakukan pengecekan.
“Ada, Pak.” Heri menunjukkannya sambil mengangkatnya dengan kedua tangan.
“Kamu, Rompy?”
Rompy yang sedang pura-pura baca pun dengan sedikit tergesa-gesa memperlihatkan kover buku seperti rencana tadi sambil berkata cepat, “Ini, Pak.”
Enggak mudah ternyata menghadapi situasi tegang seperti ini.
Namun, Pak Kusni bukanlah buaya seperti di dongeng kancil. Ia menyadari ada sesuatu yang janggal dari sikap dan buku Rompy.
“Coba sini bapak cek sekali lagi bukunya.” kumis tebalnya bergetar.
“Eh, jangan, Pak. Ini beneran emang buku IPA, Pak.” wajah Rompy memelas campur keringat dingin kayak es teh.
Pak Kusni mengernyitkan dahi dan berkata, “Enggak, sini kasih bukunya ke bapak.” dengan nada tinggi.
“Beneran, Pak.”
“Enggak, sini.”
“Pak, ini buku IPA.”
“Kasih bukunya ke bapak.”
“Beneran, Pak.”
“Sini.”
“Enggak.’
“Sini.”
“Enggak.”
“Sini.”
“Enggak.”
Anak-anak pun bergantian melihat Rompy-Pak Kusni Rompy-Pak Kusni seperti di kartun-kartun. Sampai akhirnya, Rompy pun menunjukkan kover bukunya seperti tadi, dengan menutup kalimat kecil “Ini Punya Aku” di bawahnya, namun kali ini Rompy memperlihatkannya cukup lama.
Pak Kusni pun memelotot ketika melihat kover buku tersebut dengan seksama.
Rompy pun dijewer keluar kelas. “Aduh, aduh, Pak, iya iya saya ngaku gak bawa bukunya,” seluruh kelas pun tertawa melihat kejadian tersebut, kecuali Heri yang hanya geleng-geleng.
Di luar kelas, Pak Kusni pun menginterogasi Rompy. “Pertama, kenapa kamu membohongi bapak?” masih dengan kumis yang bergetar.
“Rompy, gak membohongi bapak, kok. Kan emang bener Rompy bawa buku IPA. Hehe…” Rompy menyengir sambil mengusap-usap telinganya.
“Bukan buku IPA ini yang bapak maksud!” kata Pak Kusni sambil menunjukkan bukunya.
“Tapi kan itu sama-sama IPA, Pak.” jawab Rompy polos.
“Ada-ada saja kamu Rompy. Lalu, kenapa kamu tidak membawa buku IPA?”
“Itu aku bawa, Pak.”
“Rompy!” teriak Pak Kusni sambil melotot.
“Eh, iya, Pak. Soalnya aku baru bangun, Pak, saat membereskan buku. Dan yang kebawa malah buku itu.” anak-anak kelas yang mengintip pun masih tertawa terbahak-bahak
“Hah… itu kesalahanmu. Baik, karena kamu tidak membawa buku ditambah lagi mencoba membohongi bapak, maka bapak hukum kamu untuk membersihkan gudang perlengkapan selama pelajaran bapak.”
Muka Rompy pun berubah kecut karena mengetahui kalau tempat tersebut memang terkenal sangat berantakan, apalagi seberes istirahat. Hantu pun gak betah tinggal di sana.
Setibanya di sana, Rompy menjadi agak seneng karena mengetahui kalau dia tidak sendirian. Ternyata ada Tono! Tono telah terlebih dahulu ada di sana. Padahal mah kita kasihan, ya, sama Tono? Rompy polos ini malah seneng. Capek deh…
“Halo, No.” kata Rompy dengan senyuman.
Tono membalasnya dengan cemberut.
Rompy berusaha mencairkan suasana dengan berkata, “Aku minta maaf ya, No, karena udah ngebuat kamu dihukum.”
“Kamu ngapain sih tadi, Py?” tanya Tono ketus.
“Aku mau minjem buku IPA kamu. Aku salah bawa buku.”
“Kamu kenapa enggak ijin aja ke guru yang ngajar, kalo kamu mau minjem buku. Kan kalo gitu, kita gak akan kena hukum kayak gini.”
“Oh, iya juga, ya,” Rompy menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Ya udah aku minta maaf ya, No.” sambil mengulurkan tangannya. “Nanti deh aku jajanin bakso pulangnya, sebagai ganti kamu kena hukuman.” lanjut Rompy.
Tono yang pada dasarnya culamitan, akhirnya memaafkan Rompy. Mereka berdua pun tersenyum, lalu melakukan beres-beres sambil bercerita hal-hal yang lucu, seperti kejadian Rompy dengan Pak Kusni tadi.
Belum lama mereka beres-beres, Rompy mengajak Tono untuk bermain bola di dalam gudang tersebut dengan menggunakan sapu yang mereka genggam. Seperti bermain hoki, namun dengan bola menggunakan bola sepak dan sapu ijuk, dengan gawang menggunakan cone — memang gudang tersebut agak luas. Tono pun mengiyakan.
Mereka pun keasyikkan; tak ingat waktu; dan kalian pasti sudah tahu kan apa yang akan terjadi? Karena mereka terbawa suasana, mereka tidak menyadari ada Pak Kusni yang datang untuk melihat. Jeng, jeng, jeng… suara menggelegar pun pecah.
“Rompy! Tono!” teriak Pak Kusni.
Akhirnya mereka mendapat hukuman tambahan, yaitu membuat surat permintaan maaf karena melanggar dan tidak amanah, sekaligus harus ditandatangani oleh semua guru. Selain itu, beres-beresnya pun kali ini langsung dijaga ketat oleh Pak Kusni — kayak narapidana aja, ya?
Setelah seharian yang melelahkan dan menegangkan, mereka berdua pun pulang. Seperti janjinya, Rompy menraktir Tono baso dan bersenda gurau dengannya selama perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, mamah telah menunggu di depan pintu sambil bersedekap.
“Aduh, Rompy, kamu kenapa lagi?” yap, mamah sering mendapat laporan dari wali kelas Rompy akibat kelakuannya.
“Hehehe… Rompy salah bawa buku, Mah.” sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Coba, Rompy, ceritakan apa yang menyebabkan hal itu, dan apa yang terjadi di sekolah.”
Mereka berdua pun duduk di teras dan kemudian Rompy berceloteh apa yang telah terjadi.
Di akhir, mamah pun hanya bisa tersenyum dan memberikan kata-kata mujarabnya. “Rompy Kecil ini memang selalu ceroboh. Ulangi kata-kata mamah, ya.”
Rompy pun mengangguk.
“Apabila kau ingin pergi, cek kembali barang-barangmu dengan benar.”
Rompy pun mengulanginya.
“Apabila kau ingin pergi, cek kembali barang-barangmu dengan benar.” ulang mamah dengan nada yang mulai meninggi.
Rompy juga mengulanginya dengan nada yang mengikuti mamah.
“Apabila kau ingin pergi, cek kembali barang-barangmu dengan benar! Apabila kau ingin pergi, cek kembali barang-barangmu dengan benar!!” mereka berdua pun mengulangi kalimat tersebut bersamaan dengan suara yang lebih seperti teriakan. Hingga harus terhenti ketika ada seseorang yang melewati rumah mereka dengan tatapan bengong. Setelah beberapa detik saling pandang-memandang, dan orang tersebut melengos pergi dengan heran, mereka berdua pun tertawa.
Penulis: Raenandra Syahputra