SMKAA-Saat ini kita hanya mengenal Angklung sebagai alat musik Sunda yang sering dimainkan pada saat acara tertentu. Namun, siapa sangka Angklung pernah jadi alat musik yang pernah ditampilkan pada saat berlangsungnya Konperensi Asia Afrika 1955.
Menurut Britannica, Angklung adalah alat musik multitonal yang berkembang dari masyarakat Sunda. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung pun suaranya memiliki perbedaan pada saat digoyangkan sesuai dengan ukuran dan bentuk.
Sementara itu mengutip Gramediablog disebut hal utama yang berkaitan dengan suara dari alat musik angklung ialah tabung bambunya. Kita hanya perlu menggoyangkan angklung untuk memainkannya karena goyangan dari kita akan menimbulkan nada.
Tabung bambu akan “dipukul” dan menghasilkan suara saat seseorang mengguncang instrumen ini. Saat angklung diguncangkan secara terus-menerus, kesan tabung bambu yang dipukul tak akan cepat-cepat hilang. Pada angklung yang diameternya lebih besar atau seperti alat musik bambu lain yang tabungnya dipukul, kesan “pukulan”nya akan hilang seolah bambu ditiup seperti seruling.
Sejarah Angklung
Sejarah Angklungnya sendiri yang mana masih menurut GramediaBlog disebut Sebelum Indonesia mengenal pengaruh Hindu pada kira-kira abad ke-5 Masehi, angklung diyakini sudah ada. Jaap Kunst dalam Music in Java berpendapat, angklung ditemui pula di daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan meskipun merupakan alat musik tradisional Jawa Barat.
Tercatat, sejarah penggunaan angklung di Jawa Barat sendiri dimulai pada masa Kerajaan Sunda, yakni pada sekitar abad ke-12 hingga ke-16. Permainan angklung pada era itu dilakukan demi pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang dari Dewi Sri, yakni Dewi Kesuburan atau Dewi Padi.
Selain untuk pemujaan, kisah yang tercatat dalam Kidung Sunda juga mengungkap bahwa alat musik ini dimainkan untuk memacu semangat prajurit saat peperangan. Meski kegunaannya sangat berbeda dengan saat ini, angklung masih digunakan sebagai alat musik untuk beragam pertunjukan.
Misalnya, pertunjukkan angklung dilakukan oleh Daeng Soetigna, seorang tokoh angklung nasional, pada Perundingan Linggarjati 1946 setelah proklamasi. Saat ini, Daeng sendiri dikenal dengan julukan Bapak Angklung Indonesia yang berhasil menciptakan alat musik itu dengan tangga nada diatonis yang bisa dimainkan dengan harmonis bersama alat musik lainnya. Jadi,Angklung ini memang sudah menjadi alat music terlama di Indonesia.
Lalu, melansir dari Kompas.com disebut kata Angklung sendiri berasal dari bahasa Sunda, yaitu angkleung-angkleung. Terdiri dari dua suku kata yaitu angka yang berarti nada dan lung yang berarti pecah. Bunyi pada angklung sendiri dihasilkan oleh adanya benturan pada badan pipa bambu, sehingga dapat menghasilkan suatu bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2,3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran.
Baik ukuran yang besar maupun yang kecil. Permainan pada era abad ke-12 sampai ke-16 dilakukan demi pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci yang merupakan lambang dari Dewi Sri yaitu dewi kesuburan atau dewi padi. Selain untuk pemujaan, kisah yang tercatat dalam Kidung Sunda mengatakan bahwa alat musik ini dimainkan untuk memacu semangat para prajurit saat berperang.
Sebenarnya, banyak ciri-ciri Angklung di Indonesia seperti Angklung Sunda, Angklung Daeng , Angklung Toel ,dan Angklung Pukul. Namun, kita akan membahaskannya Angklung Padaeng disebabkan Angklung inilah yang memerangkan pentas alat musiknya dihadapan para delegasi Konperensi Asia Afrika 1955 itu.
Peran Angklung Dalam Diplomasi
Menurut Detikcom, Bapak Daeng selaku intepretasinya terjun langsung untuk memperkenalkan angklung kepada seluruh delegasi dari negara-negara peserta Konferensi Asia-Afrika di Gedung Merdeka.Momen itu kemudian dikenal sebagai pertunjukan angklung yang pertama kali mendunia. Angklung jadi dikenal sebagai alat musik tradisional dari Indonesia.
“Presiden Soekarno dan pemimpin negara Asia-Afrika yang hadir turut memainkan angklung dengan arahan dari Bapak Daeng. Beliau memimpinpara pemimpin dunia dengan menjadi kondaktur yang memberi kode tangga nada pada permainan angklung. Pada momen bersejarah itu,angklung menyatukan para pemimpin negara peserta dan menciptakan perdamaian melalui kerja sama yang kompak,” ujar dari Direktur Mang Udjo.
Angklung menjadi simbol persatuan dan kesatuan negara-negara peserta Konferensi Asia-Afrika. Hingga sekarang, angklung menjadi identik dengan momen bersejarah ini. Angklung tidak bisa dipisahkan Daeng Soetigna dari Konferensi Asia-Afrika.Lalu, menurut Jurnal Asep Nugraha yang berjudul Angklung Tradisional Sunda: Intagible, Cultural Heritage of Humanity, Penerapannya dan Pengkontribusiannya Terhadap Kelahiran Angklung Indonesia disebut sebagai karya yang di luar ekspektasi. Daenf Soetigna pada awalnya menciptakan angklung diatonis, tetapi berdampak luar biasa. Semenjak Angklung ciptaannya dipertunjukkan di hadapan tamu asing peserta Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka Bandung.
Nama ‘Daeng Soetigna’ menjadi ‘besar’. Konsekwensi logis yang harus diterima adalah kesibukan melayani tawaran mengisi acara kesenian bersifat pribadi maupun kenegaraan. Prestasi Soetigna itu dibalas dengan beasiswa untuk belajar di Colombo Plan Australia pada tahun 1955-1956.
Jadi, Angklung memiliki banyak sekali peran dalam diplomasi dan saat ini Angklung menjadi warisan Dunia serta pada saat acara Asian African Festival 2024 , Angklung sempat dimainkan pada Delegasi pada saat acara Jamuan Morning Coffee.
Penulis: Edukator/Senore Arthomy Amadeus
Editor: JT/ Muhamad Iqbal Alhilal