Globlit-Adegan sinetron di TV menunjukkan seorang laki-laki dan perempuan SMA bertabrakan, lalu barang-barang si perempuan berhamburan ke lantai, dan adegan pun dilanjutkan dengan dramatis, ditambah efek slow motion dan lagu romantis ketika laki-laki dan perempuan SMA tersebut bertatap-tatapan saat membereskan barang-barang yang berhamburan.
Mamah pun menyandarkan kepalanya ke bantal yang sedang dipeluknya.
“Idih, lebay banget,” ujar Rasya.
“Alaaahh… belum aja lo rasain kayak gitu, Culun,” kata Zanna yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
“Apa lo bilang?”
“Cu-lun. Si culun yang gak pernah ngerasain namanya pacaran.” ledek Zanna dengan ekspresi yang dilebay-lebayin kayak ibu-ibu di sinetron yang lagi ngegunjing.
“Emangnya lo pernah, hah?!” Tanya Rasya, galak, dengan ekspresi yang tak kalah lebay.
“Yehh, kepo lu,”
“Bilang aja gak pernah.”
“Eh, sembarang lo. Sejarah panjang perpacaran gue udah bisa dijadiin novel 500 halaman!”
Rasya pun hanya membalas dengan menyipit-nyipitkan mata.
Begitu pun dengan Zanna.
Hening beberapa saat.
“Idih, lebay banget, ya, adegannya.” ujar mamah memecah keheningan.
Mereka bertiga pun tertawa.
“Udah, ah, jangan berisik. Mamah lagi nonton sinetron kesukaan mamah, nih,” Mamah menenangkan mereka berdua yang sudah berada di sampingnya setelah ribut-ribut tadi.
“Kok, ibu-ibu suka nonton cerita-cerita anak muda, sih?” tanya Rasya yang sedang bersandar di bahu mamah.
“Seneng aja. Jadi mengingatkan mamah waktu lagi berbunga-bunganya sama lawan jenis. Apa tuh sekarang disebutnya? Bucin, ya? Ngerasain yang namanya jatuh cinta, panas-dingin, grogi waktu ketemu si dia. Aduhh, hal-hal remajalah, yang bikin ngangenin.”
“Tapi aneh gak sih, Mah, masa cuman ketabrak terus pandang-pandangan langsung jatuh cinta.”
“Itu namanya cinta pada pandangan pertama, Rasya. Ada banyak alesan buat orang jatuh cinta. Itu salah satunya.”
“Bukannya katanya cinta pada pandangan pertama itu mitos? Terus ada juga yang bilang kalau cinta itu gak butuh alesan.”
“Makanya, lo rasain, dong!” ledek Zanna tiba-tiba.
“Aduhh, Zannaaa… gemes, deh,” Mamah sudah mencubit pipi Zanna duluan sebelum Rasya menaboknya.
“Eh, Mamah, Mamah. Kan kata mamah ada banyak alesan buat jatuh cinta. Ceritain dong alesan mamah jatuh cinta sama ayah.”
Mamah tertawa mendengar pertanyaan dari putrinya yang sudah remaja itu. Selanjutnya, mamah pun melupakan sinetron kesukaannya dan asyik mengobrol dengan kedua anaknya hingga malam hampir larut.
Rasya pun setelah mengobrol-ngobrol dengan mamah dan Zanna, di kamarnya ia langsung melukis di secarik kertas lukis dengan lukisan yang sangat absurd: seorang laki-laki dan perempuan yang bertabrakan dengan muka gepeng seperti di kartun-kartun, lalu ditambah efek-efek absurd lainnya dan tanda cinta dan bunga-bunga di sekitarnya.
Setelah selesai, ia sebentar memandangi lukisan tersebut. Ia hanya tersenyum sambil geleng-geleng. Kemudian ia pun mematikan lampu di meja belajarnya dan pergi ke tempat tidur. Ia terlelap sambil mempertanyakan, “Ngapain sih cinta-cintaan?”, “Emang cinta sesederhana itu?”, “Pandangan pertama bisa bikin jatuh cinta? Aneh”.
Padahal mungkin saja pikirannya sedang membohongi hatinya.
Rasya yang sedang berada di kelasnya; di kelas 12 MIPA 1 SMA SLB (Satya Lembayung Bangsa), seperti biasa ia sedang asyik dengan kertas dan pensil.
Bukan. Ini bukan SMA untuk orang-orang yang punya kebutuhan khusus agar Rasya bisa dengan mudah rangking teratas — padahal kapasitas otaknya juga belum tentu bisa ngalahin orang-orang itu. Apalagi soal percintaan. Ia bahkan kalah sama tumbuhan. Bunga aja ketemu sama lebah.
“Woi! Lagi ngapain lo, Ras?” kata Randi yang datang dari luar kelas.
“Basa-basi lo, Ran. Udah keliatan gua lagi ngapain.”
“Kantin, yuk,”
“Enggak, ah, bentar lagi masuk.”
“Yaelah, bentar aja, Ras. Ke kantin, cuci mata. Siapa tau bisa kenalan dikit-dikit mah. Masa lo mau di sini aja, gabung sama orang-orang ngenes ini?” kata Randi sambil menebarkan pandangannya ke sekeliling yang terdapat orang yang sedang tiduran di lantai, bengong gak jelas, baca buku motivasi hidup sambil ngiler, dan juga ada yang sedang menggali upilnya dalam-dalam. Yap, tidak ada yang bermain HP, karena di sekolah ini dilarang membawa hal itu.
Mereka berdua pun menatap jijik pemandangan barusan.
“Kagak ah, Ran, gua mau nunggu bel masuk aja. Lagian gua bukan ngenes kali. Gua cuman gak minat aja ke cinta-cintaan gitu.” kata Rasya sambil melanjutkan menggambarnya.
“Ayolah, Ras, masa bab percintaan di SMA lu kosong,” tiba-tiba Randi mendekat ke Rasya dan setengah berbisik supaya tidak terdengar oleh yang lain. “Eh, Ras, lu tau Rara kelas 12 IPS 1, gak?”
“Apaan sih, Ran?” kata Rasya sambil berusaha menjauhkan Randi. “Lu kalo ngenes jangan dilampiasin ke gua juga kali.” sebenarnya Rasya tahu kalau Randi gak ngenes. Ia punya pacar. Hanya saja baunya kayak buaya abis mandi di kubangan lumpur, karena masih suka tebar pesona ke mana-mana.
“Eh, liat coba tuh, Ras,” kata Randi sambil memegang kepala Rasya dengan kedua tangannya agar melihat Rara yang sedang berada di Tabu dari balik jendela.
Tabu. Itu adalah nama taman di sekolah ini. Itu singkatan dari taman bunga. Makna taman itu sesederhana namanya: taman itu terdapat berbagai jenis bunga yang menghiasinya, dan juga selalu jadi spot favorit untuk anak-anak SMA SLB yang perasaannya juga sedang berbunga-bunga. Selain itu, kebetulan juga taman ini berdekatan dengan kantin. Cocok bagi siswa yang sedang bucin-bucinnya datang gaya-gayaan seremeh ngejajanin pacar atau gebetannya.
Namun, lain halnya bagi Rasya. Nama taman itu punya makna berbeda baginya. Untuk orang culun yang belum pernah merasakan cinta-cintaan, makna tempat itu seharfiah singkatannya, “Tabu”. Cinta-cintaan adalah hal tabu baginya. Ia hampir tidak mengenal hal-hal yang berkaitan tentang itu. Baginya, tempat itu hanyalah tempat biasa.
“Itu tuh orangnya, Ras. Rara kelas 12 IPS 1.” lanjut Randi.
“Iye, iye, gue tau,” kata Rasya sambil melepaskan kedua tangan Randi. “Yang suka nulis itu, kan?” kembali, ia pun melanjutkan menggambarnya.
“Nah, yoi. Mungkin dia cocok sama lu. Liat aja tuh dia lagi asyik sendiri. Persis seperti lu yang suka asyik sendiri.”
“Cocoklogi lu gak masuk akal, Ran,” Rasya pun akhirnya benar-benar menatap Randi. “Masa iya, ‘karena aku dan kamu suka asyik sendiri, kita akan sama-sama suka’, ‘karena aku dan kamu suka asyik sendiri, kita akan hidup selamanya bersama’, horee,” ujar Rasya dengan suara yang dilebay-lebayin. “Suka. Cinta. Itu gak sesederhana itu, Ran.”
“Ayolah, Ras, ini demi kisah percintaan lu. Demi bab percintaan lu keisi. Bab di bagian hidup yang kata orang adalah yang terbaik.”
“Lebay banget lu, Ran. Udah, ah, lu ke kantin aja sendiri.”
Randi pun hanya bisa mengangkat bahunya dan pergi ke kantin sendiri.
Ternyata tanpa mereka sadari, ribut-ribut tadi menarik perhatian para ngenes di kelas tersebut. Yang ngupil berhenti ngegali-gali upilnya. Yang baca buku motivasi hidup malah jadi melongo. Dan yang bengong akhirnya tersadar kembali ke kehidupan nyatanya. Hanya yang tidur yang masih bermimpi berkejar-kejaran, berpegangan tangan, nyanyi bareng, ketawa-ketawa bareng, bersama seorang… cewek.
Di hari-hari setelahnya, sebenarnya enggak jelas apa yang sedang dirasakan perasaan Rasya. Pikirannya selalu saja bilang kalau ia enggak ada rasa sama siapapun, namun gak dapat dipungkiri kalau Rara memang orang yang menarik, pikir Rasya. Beberapa kali ia menggambar dengan subjek utamanya Rara. Entahlah. Terlampau rumit sehingga tidak bisa dijelaskan, atau terlampau sederhana hingga ungkapan pun terasa lebih rumit. Setiap manusia pernah merasakan perasaan itu, bukan? Abstrak yang terlihat sederhana.
Hingga suatu ketika, saat sebelum masuk sekolah, ketika Rasya dan Randi sedang mengobrol sambil berjalan di koridor sekolah, Rasya tak sengaja menabrak Rara karena ia mengobrol sambil berjalan ke belakang untuk menghadap Randi.
Rasya hanya terpaku ketika itu.
“Woi, Oon, bantuin,” kata Randi sambil noyor Rasya yang masih berdiri terpaku.
Memang beginilah kalau orang culun yang gak pernah merasakan cinta-cintaan ketika menghadapi situasi seperti ini: otaknya jadi korslet kayak waktu ngerjain ujian fisika.
“Eh… ma-maaf, ya,” ucap Rasya di saat mereka Rasya dan Rara sedang membereskan barang-barang Rara.
Rara yang sama sibuk, sama sekali tidak memberikan tanggapan. Sementara Randi sedang menahan ngakak. Ya. Randi dan Rasya ini sudah bersahabat sejak lama. Telah bercerita tentang banyak hal. Ia tahu kalau Rasya ini adalah seorang laki-laki yang bab percintaannya masih kosong melompong. Jadi, ketika momen melihat Rasya kikuk terhadap seorang cewek — yang juga baru diomongin beberapa waktu lalu — menjadi hal yang jarang sekali terjadi. Atau mungkin belum pernah sama sekali.
“Ra-Rara, kan? Gu-gua minta maaf, ya,” kata Rasya, masih dengan kekikukannya.
“Ya, gak apa-apa.” kata Rara yang lalu berlalu dengan santai.
Setelah kekikukannya, diri Rasya dihantam lagi dengan perasaan tidak percaya, sekaligus aneh karena perasaan yang belum pernah — atau mungkin terpendam sejak lama — akhirnya ia rasakan. Kali ini pikirannya perlahan menyadarinya.
Mereka pun lanjut berlajan di koridor lagi.
“Udah jatuh cintanya?” kata Randi sambil tersenyum.
“Enggak tau.” jawab Rasya, masih dengan ekspresi tidak percayanya.
“Udah gua bilangin. Lu tuh cocok sama Rara,”
“Gua kayaknya ngerasain rasa itu. Rasa suka…” terdengar suara ragu dari ucapan Rasya.
Randi pun hanya mengangkat kedua alisnya.
“Gua kayaknya suka sama dia,” sekarang suara Rasya terdengar lebih meyakinkan.
“Akhirnya, kisah percintaan lu di masa terbaik ini mungkin gak akan kosong.”
“Tapi, gua gak tau cara menghadapi hal kayak beginian, Ran,”
“Gampang. Lu cari tahu nomor handphone-nya, terus chat, bilang ke dia kalo lu suka.”
“Wah, lu gila apa?! Bisa-bisa gua dibilang orang gila,”
“Yaa, basa-basi dululah, Ras. Kenalan dulu, kek. Nanya tentang hobinya, kebiasaannya, makanan favorit, minuman favorit, keteknya buluan atau enggak,”
Rasya hanya menatap dongkol.
“Oke, oke… intinya lu harus membangun kedekatan dulu.”
“Tapi, gimana gua bisa dapet nomer dia?” memang, kadang-kadang jatuh cinta bisa bikin orang bego.
“Lu punya kontak temen sekelasnya Rara, gak? Kenalan dari ekskul mungkin.” tanya Randi sambil mereka berdua pun duduk di bangku kelas.
“Vira, ekskul PMR.” jawab Rasya pelan.
“Nah, lu bisa minta kontaknya ke dia. Gampang, kan? Yahh, lagian sekarang mah gampang, Ras. Dia lumayan terkenal, kan, untuk orang yang pernah juara nulis puisi sama karya-karyanya sering tembus majalah ataupun media online. Cek aja salah satu siswa di sini, di IG-nya, di following-nya. Terus cari nama Rara, pasti ketemu. Termasuk di IG gua. Hahahaha…”
Mendengar perkataan Randi barusan, membuat Rasya berpikir kemungkinan-kemungkinan yang akan ia lakukan. Enggak jadi termasuk salah satunya.
“Ayolah, Ras. Ini hal sederhana,” ucap Randi, meyakinkan sambil memegang kedua bahu Rasya.
Sederhana?, pikir Rasya.
“Lu bisa ngelakuin ini. Demi diri lu sendiri juga. Lu harus bisa ngungkapinnya. Jangan dipendam. Cinta cuma bakal jadi luka kalau lu memendamnya.”
Rasya pun mengangguk.
“Oke, kalau gitu gua mau ke kantin dulu. Jajan, sekalian cuci mata sama tebar pesona. Lumayan, masuknya masih lama.” Randi pun melengos pergi dengan santainya dan meninggalkan Rasya yang terbengong.
Dan tanpa Rasya sadari juga, obrolan tadi membuat para ngenes di kelas tersebut menatapnya.
Di hari-hari setelahnya, Rasya beberapa kali mencoba untuk meminta kontak Rara dari Vira, namun semuanya berakhir gagal. Seringnya ia hanya menatap garis di kolom chat berkedip-kedip dan akhirnya tidak jadi. Namun, ada di suatu waktu ia malah berakhir minta kontak wali kelas Vira. Hanya untuk basa-basi karena udah terlanjur nge-chat — terbukti! Jatuh cinta bikin bego.
Lewat Instagram pun apalagi. Ia malah makin gemetar untuk ngeDM-nya langsung — gimana kalo ngomong langsung, ya? Mungkin Rasya bakal kejang-kejang dan koma selama tujuh hari tujuh malam. Hingga pada akhirnya, ia pun hanya bisa melihat-lihat post Instagramnya. Setidaknya membuat perasaannya sedikit lega.
Rara tidak terlalu banyak menge-post dirinya sendiri di akun Instagramnya. Ia lebih banyak memposting tulisan-tulisan yang kadang membuat Rasya tersenyum. Sampai-sampai ia pernah kepergok senyam-senyum sendiri sama Zanna, hingga Zanna pun mengadukannya kepada mamah. Rasya hanya mengeles kalau dia melihat postingan lucu.
Gimana kalau pada akhirnya bulan tertambat ke Neptunus?
Kadang-kadang, kan, kelakuan Semesta enggak pernah keduga.
Begitu salah satu tulisan Rara yang membuat Rasya tersenyum.
Cara yang disarankan Randi pun tidak bisa Rasya lakukan. Rasya pun membicarakan hal ini kepada Randi saat jam istirahat di kantin.
Randi berpikir sejenak setelah mendengarnya.
“Oh! Kita pakai cara lama,” ucap Randi dengan muka berbinar.
“Cara lama?” ucap Rasya keheranan.
“Iya, cara lama. Lu PDKT dengan Rara dengan cara mengirimkannya surat yang dibuat dengan tulis tangan. Rara suka nulis puisi, kan? Nah, Lu buat puisi di kertas, terus kasih deh puisi itu lewat Vira. Gampang, kan? Terserah lu deh mau kasihnya kapan. Oh, iya. Gua tau kalau lu masih kikuk dalam hal ini. Mungkin sebaiknya lu ngasihnya make amplop cokelat.”
“Segitunya?”
“Emang lu berani langsung ngasih kertasnya gitu aja?”
Rasya menelan ludah.
“Makanya, ikutin saran gua. Itu kamuflase yang baik. Tunjukin waktu dia udah jadi punya lu,” kata Randi, sok-sokan.
Rasya pun mengangguk-angguk. Pas PMR. Bikin kamuflase yang baik.
Di rumah, ia pun berusaha sekuat tenaga menulis puisi itu. Puisi perkenalan untuk Rara.
Dari kata ke kata; kalimat ke kalimat; Rasya selalu saja membuang puisinya setelah setengah jadi. Ia merasa belum menemukan kalimat yang pas.
Hingga pada akhirnya, setelah bejibun kertas dibuang, ia melihat gambar Rara yang dibuatnya dari perspektif samping, yang sedang duduk melamun sambil memegang buku yang terbuka di tangan satunya dan sebuah pensil di tangan lainnya. Dengan cepat ia mengambil secarik kertas lainnya dan menggambar dua manusia stik sederhana (cewek dan cowok) kembali dengan perspektif samping, dengan si cowok yang menjulurkan tangan kepada si cewek yang terdiam terpaku. Di masing-masing kedua manusia stik tersebut terdapat tanda panah. Tanda panah si cowok menunjukkan nama Rasya Anggraha, sementara tanda panah si cewek dibiarkan kosong. Rasya pun tersenyum melihat kertas tersebut, lalu melipatnya dan ditaruh di atas meja belajarnya.
Malam pun hampir larut. Rasya sedang mengerjakan tugas fisikanya di kertas lembar. Tugas yang diberikan tadi ketika sekolah, sebagai ganti jam kosong, sekaligus sebagai syarat untuk ujian yang akan diadakan minggu depan. Gurunya memberikan deadline sampai esok hari.
Di tengah-tengah otak ngebulnya ngerjain tugas fisika, sejenak ia melihat kertas yang berada di sampingnya. Ia tersenyum.
Besok harinya, ucap Rasya dalam hati.
“Senyam-senyum aja, Lo. Lagi jatuh cinta, ya?” kata Zanna yang tiba-tiba main masuk aja ke kamar Rasya untuk mengembalikan novel.
“Sok tau, lo. Gue masih kepikiran hal-hal lucu yang gue liat.”
“Alah… ngeles. Bilang aja baru ngerasain jatuh cinta kan,” balas Zanna sambil menaruh novelnya di atas kertas itu. Kertas perkenalan. “Akhirnya, si culun udah gak culun lagi.”
“Berisik ah, lo. Gue lagi ngerjain tugas, nih,”
“Tugas atau surat cinta, hayoo,”
Rasya pun menatap sinis Zanna.
“Iye, iye… gue pergi…”
“Makasih, makasih, kek,”
“Makasih ya, Sayang,” kata Zanna, lalu menutup pintu.
Rasya pun melanjutkan nugasnya.
Paginya, Rasya hampir kesiangan gara-gara ngerjain tugas fisika ajegilenya sampai larut malam. Dengan terburu-buru ia mandi, sarapan, membereskan buku, serta memasukkan kertas di pinggir novel yang dipinjam Zanna ke amplop cokelat, lalu ngibrit pergi ke sekolah. Untungnya, ia datang sebelum bel berdering. Selebihnya, ia menjalani sekolah seperti biasa: menggambar, ke kantin, ngeliat lagi orang-orang ngenes, dan pelajaran demi pelajaran ia lewati.
Sampailah waktunya. Waktu milik Rasya. Jam ekskul PMR. Dengan kikuk Rasya memberikan amplop itu kepada Vira untuk Rara. Melihat gelagat Rasya yang gak biasa, Vira sedikit curiga. Namun, ya, itu hanyalah amplop cokelat. Ketidakpeduliannya menyingkirkan rasa curiganya.
Berhasil!, ucap Rasya, dalam hati, setelah berhasil memberikan amplop cokelat yang berisi kertas itu. Kertas yang ia yakini sebagai kertas perkenalan. Perasaannya diliputi rasa senang sekaligus deg-degan. Senang karena berhasil melakukannya. Deg-degan karena harus menghadapi hal baru baginya.
Kemudian Vira pun memberikan amplop tersebut kepada Rara di saat jam pulang.
“Ini apaan?” tanya Rara kepada Vira.
“Gak tau. Dia gak bilang itu isinya apa. Cuma bilang itu buat kamu.” jawab Vira, datar.
Rara pun hanya tersenyum dan tidak langsung membuka amplop itu.
Di lain tempat, Rasya memberikan kedua jempolnya sambil tersenyum lebar kepada Randi saat jam pulang.
“Gimana rasanya?” tanya Randi saat mereka berjalan menuju ruang guru untuk mengumpulkan tugas fisika.
“Emang bener kata lu, Ran. Saat diungkapin rasanya lebih lega,”
Mereka berdua pun tersenyum sambil ngangguk-ngangguk.
Sesampainya di depan pintu ruang guru, Rasya merogoh tasnya untuk mengambil tugas fisika. Namun, ia gak dapat menemukannya. Ia pun sekali lagi mengobrak-abrik tasnya, dan beberapa saat ia baru sadar kalau… kertas yang ia masukan ke dalam amplop cokelat adalah KERTAS TUGAS FISIKA!
Ia pun berlari sekencang-kencangnya ke kelas 12 IPS 1 meninggalkan Randi yang terheran-heran. Sesampainya, ia hanya melihat kelas itu telah kosong. Keringat dingin pun mulai bercucuran. Terdapat dua kekhawatiran dalam diri Rasya: guru fisika galak yang suka gak bisa menolerir tugas yang telat, dan perkenalan dengan Rara yang menjadi kacau.
Di rumah Rara, Rara pun membaca kertas itu. Kertas tugas fisika Rasya. “Nama: Rasya Anggraha. Kelas: 12 MIPA 1. Bunyi hukum I Kepler, ‘Lintasan setiap planet ketika mengelilingi matahari, berbentuk elips, di mana matahari terletak pada salah satu fokusnya…”
Rara pun hanya bisa tertawa kecil setelah melihat kertas itu, lalu ia pun mulai menulis:
“Kau adalah kecerobohan
Yang mempunyai sifat lucu dan segan
Yang menimbang-nimbang untuk menulis surat agar bisa abadi bersamaku
Takkan pernah ikut bersama waktuHai, Rasya Anggraha
Aku Rara Gavesha
Mungkin kau adalah salah satu dari yang lainnya
Yang dikirimkan oleh Semesta yang suka enggak keduga-dugaSalam kenal, Rasya,
Yang memperkenalkan dirinya melalui tugas fisika”