EDUKATOR-Sejak berakhirnya Perang Dunia II yang membawa kehancuran bagi masyarakat diberbagai negara, maka didalam periode selanjutnya dunia memasuki perkembangan baru yaitu Perang Dingin yang terjadi akibat dari konflik kepentingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Istilah Perang Dingin yang diperkenalkan oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman, adalah istilah yang merujuk kepada hubungan yang terjadi diantara kedua negara adikuasa pemenang didalam Perang Dunia II.
Berakhirnya Perang Dunia II, ternyata tidak membawa kestabilan dan keamanan yang abadi bagi bangsa dan negara di dunia yang baru berdiri merdeka dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat. Permasalahan justu semakin kompleks dengan adanya persaingan pengaruh dan konflik kepentingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mereka menyebarkan pengaruhnya melalui ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Persaingan antara kubu kapitalis-liberal dengan komunis-sosialis telah membagi negara-negara di dunia menjadi dua golongan besar: Blok Barat dan Blok Timur.
Terbaginya dunia kedalam dua blok raksasa tersebut membuat negara-negara yang baru merdeka atau negara-negara new emerging force’s menjadi terombang-ambing kedalam pertikaian antara kedua blok. Tidak hanya itu kedua blok juga seringkali mengancam satu sama lainnya dengan ancaman perang nuklir, senjata pemusnah masal yang bisa berdampak terhadap hancurnya komunitas dan kehidupan di kawasan dunia. Ditengah ancaman perang nuklir dan ekskalasi yang semakin meningkat tegang maka negara-negara di kawasan Asia-Afrika yang baru merdeka tersebut berinisiatif untuk menggelar pertemuan raksasa yang melingkupi dua continental dunia yaitu Konferensi Asia-Afrika.
Konferensi Asia-Afrika yang terjadi di Kota Bandung pada tanggal 18-24 April 1955 tersebut diinisiasi oleh lima negara sponsor, yaitu: Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma. Konferensi Asia-Afrika 1955, telah menjadi bukti nyata keikutsertaan dan kepedulian masyarakat kulit berwarna sebagaimana yang dikatakan oleh Leonard Stodard untuk bangkit dan berdiri ikut serta didalam mengambil peran bagi perdamaian dan menciptakan stabilitas dunia yang berdasarkan kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan adalah sebuah kenyataan sejarah yang harus diterima. Konferensi yang ditutup pada tanggal 24 April tersebut telah berhasil merumuskan sebuah rancangan amat gemilang yang dinamakan sebagai Dasasila Bandung.
Namun kini sejak 69 tahun dirumuskannya Dasasila Bandung sebagai hasil dari Konferensi Asia-Afrika 1955, tampaknya negara-negara di dunia telah melepaskan dan lupa diri dari nilai-nilai yang terkandung dalam Dasasila Bandung tersebut. Munculnya konflik diberbagai kawasan dunia dan sikap negara-negara besar yang turut ambil bagian dalam mendukung serta acuh terhadap penyelesaian konflik secara damai merupakan kenyataan pahit yang terjadi. Pada dasarnya ketidaksigapan negara-negara besar dalam mengambil peran dan cenderung acuh terhadap berbagai permasalahan internasional adalah akibat dari sifat double standard dan sifat hypocrite yang diberlakukan dalam politik luar negerinya. Selain itu kedua sifat tersebut sebenarnya telah menjadi penyebab dari runtuhnya nilai-nilai yang sudah dibangun 69 tahun yang lalu.
Sifat tersebut dapat kita lihat dari dua konflik yang terjadi baru-baru ini yang kemudian berdampak kepada ketidakstabilan dan ketegangan di kawasan dunia yaitu: konflik Rusia-Ukraina yang terjadi pada tanggal 24 Februari 2022 dan penjajahan rezim Israel keatas Palestina yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2023. Walaupun dalam kenyataannya konflik tersebut sudah berlangsung sejak berpuluh tahun lalu, namun pada tanggal tersebutlah ekskalasi ketegangan meningkat dengan tajamnya dan menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan geopolitik di berbagai belahan dunia.
Ketika Rusia menyerang Ukraina dalam operasi khusus mereka baik dari arah timur, utara, ataupun selatan sebagai imbas dari rencana negara tersebut untuk bergabung kedalam pakta pertahanan NATO (North Atlantic Trate Organization), maka negara-negara besar yang mayoritas dari Eropa dan Amerika Serikat, langsung memberikan sanksi internasional terhadap Rusia dan menyatakan keberpihakannya langsung kepada Ukraina. Bahkan bukannya membantu meredakan konflik dan menyelesaikannya secara damai berdasarkan hukum internasional, negara-negara Barat secara terang-terangan memberikan dukungan dalam bentuk persenjataan, pasukan, dan keuangan kepada Ukraina. Tindakan tersebut jelas tidak memberikan kesejukan di kawasan yang sedang berkecamuk bahkan berakibat terhadap semakin parahnya konflik yang terjadi antara kedua negara bahkan masih berlangsung hingga sekarang dan belum menemui titik penyelesaiannya.
Berbeda dengan konflik Rusia-Ukraina tersebut, mata dunia kini tertuju kepada konflik yang terjadi akibat dari penjajahan Israel, yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun lamanya keatas Palestina. Sebagai respon dan upaya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan tersebut maka pada tanggal 7 Oktober 2023, Palestina melalui faksi militer Hamas (Harakat Al-Muqawwamatul Islamiyyah) di Gaza, melancarkan serangannya terhadap berbagai kota di Israel. Kondisi ini kemudian membawa peperangan yang sangat mengerikan, bahkan banyak kalangan yang menyebutkan bahwa peperangan sudah menjadi aksi genosida berdarah yang dilakukan oleh Israel kepada masyarakat di wilayah Gaza, Palestina.
Aksi penyerangan dan genosida yang dilancarkan oleh Israel tersebut dengan alasan mempertahankan diri dari Hamas nyatanya telah melanggar banyak hukum internasional, namun apa yang terjadi, negara-negara besar khususnya di Eropa dan Amerika Serikat memberikan dukungan senjata dan keuangan bagi Israel, dengan alasan untuk memberikan balasan dan mempertahankan dirinya dari pejuang-pejuang Hamas. Usulan gencatan senjata yang diprolopori oleh banyak negara yang miris terhadap konflik ini tidak membuahkan hasil yang mulus, sebab negara-negara pemegang hak veto (hak untuk menerima dan hasil putusan) didalam forum Dewan Keamanan PBB, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis seringkali absen dan menolak rancangan resolusi gencatan senjata tersebut. Alhasil pertikaian tersebut hingga kini tidak memperlihatkan adanya penyelesaian yang pasti.
Terdapat perbedaan respon yang terjadi antara kedua konflik ini, jika pada konfik yang terjadi antara Rusia-Ukraina, maka negara-negara Barat langsung memberikan kecaman dan sanksi yang cepat dan tegas kepada Rusia, namun terhadap konflik antara Israel-Palestina, negara-negara barat bungkam serta diam dan malahan memberikan dukungan terhadap pihak yang seharusnya menerima hukum dunia internasional sebagai konsekuaensi dari praktik penjajahan yang telah lama berlangsung diatas tanah Palestina tersebut. Sebuah ironi yang terjadi yaitu sifat double standard dan sifat hypocrite dalam sistem perpolitikan luar negeri negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat.
Sudah selayaknya ditengah situasi ketegangan yang melanda berbagai kawasan di dunia pada dewasa ini, Dasasila Bandung sebagai manifestasi hasil yang gemilang dari Konferensi Asia-Afrika 1955, dapat direnungi dan dijankan oleh berbagai kepala negara sebagaimana mestinya agar konflik regional yang terjadi dapat diatasi dengan penyelesaiaan yang damai tidak dengan sifat double standard dan hypocrite yang justru bisa membawa malapetaka ke bencana peperangan yang jauh lebih besar. Menghormati kedaulatan serta integritas seluruh bangsa; tidak melakukan agresi terhadap negara lain; dan menyelesaikan perselisihan internasional secara damai adalah poin-poin yang masih sangat relevan terhadap kondisi saat ini dan poin-poin tersebut sangat ditekankan dalam Dasasila Bandung, demi menciptakan dan membimbing kemajuan stabilitas dan keamanan dunia sebagaimana harapan dari Ali Sastroamidjojo: “Semoga Konperensi Bandung (dan Dasasila Bandung) tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan di masa depan dari Asia dan Afrika.”
Penulis: Edukator/ Dian Purnomo
Editor : JT/Muhamad Iqbal Alhilal