Perdana Menteri Indonesia ke-8 dan ke-10, Ali Sastroamidjojo. Foto : Wikipedia.
Ali Sastroamidjojo lahir di Magelang, Grabag, Jawa Tengah pada tanggal 21 Mei 1903. Beliau lahir dari keluarga bangsawan dan elite di Indonesia. Meskipun begitu, Ali tak memandang dirinya tinggi. Hal ini dilihat dari masa kecilnya yang ia habiskan bersama kalangan bawah, seperti petani.
Dengan kondisi keluarga yang berada, Ali mampu bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) dan melanjutkan sekolah tingginya di Sekolah Hukum Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927. Berkat sekolahnya, ia mulai menggeluti dunia perpolitikan dan aktif di berbagai organisasi pemuda seperti Indische Vereeniging. Salah satunya ia juga tergabung di organisasi Jong Java pada tahun 1918-1922.
Semasa menjadi mahasiswa, Ali sering menulis artikel hingga mengundang murka Belanda. Hal ini membuat Ali ditangkap dan ditahan oleh Belanda pada tahun 1927. Beliau tidak ditahan hanya seorang diri, melainkan bersama ketiga tokoh lainnya, yang juga aktif dalam organisasi kepemudaan, yaitu Muhammad Hatta, Abdoel Madjib Djodiningrat, dan Pamontjak. Tetapi pada saat itu, Ali dan ketiga tokoh lainnya dibebaskan oleh pengadilan Den Haag.
Ali memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan terjun ke dunia jurnalistik. Beliau menjadi redaktur di surat kabar Janget dan menjadi wartawan di harian Sedio Utomo. Beliau pun menciptakan kantor berita untuk aspirasi politiknya hingga bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan bergabung dengan Partai Gerindo setelah partai PNI dibubarkan.
Setelah terjadinya Perang Dunia II, sosok Ali semakin sukses dalam berkarir. Ini dilihat dari terus meningkatnya karier perpolitikannya diantaranya, yaitu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan pada Kabinet Presidensial I, menjabat sebagai Wakil Ketua MPRS pada Kabinet kerja III dan VI, Dwikora I dan II, menjadi Wakil Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Februari 1948, ditunjuk sebagai Duta Besar RI pada tahun 1950 hingga 1953, mendapatkan kepercayaan sebagai Perdana Menteri Indonesia pada 1 Agustus 1953 dengan dua kabinet, yaitu kabinet Ali Sastroamidjojo I pada 1953-1955 dan dilanjut kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 1956-1957, menjabat sebagai Ketua PNI, dan sebagai tokoh penggagas Konferensi Asia Afrika atau dikenal KAA
Ali Sastroamidjojo Pejuang Konferensi Asia Afrika.
Pada tahun 1954, Ali mendapatkan surat dari Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotelawa. Dalam surat tersebut, Ali dan beberapa tokoh lainnya seperti Jawaharlal Nehru, Birma U Nu, Muhammad Ali diundang untuk menghadiri Pertemuan Kolombo. Undangan ini bertujuan untuk membahas mengenai isu ketegangan di kawasan Vietnam. Dalam kunjungannya, ia memegang pesan dari Presiden Soekarno bahwasannya Soekarno menyuruh Ali untuk membuat pertemuan besar yang tak hanya berisi 5 negara saja.
Ali terus berusaha mencetuskan pertemuan antara negara Asia Afrika, dengan tujuan agar terhapusnya penjajahan. Dengan berbagai tuain penolakan yang ia dapat, akhirnya Ali berhasil mendapatkan dukungan dari negara lain. Hingga terjadilah pertemuan di Bogor pada 28-29 September 1954 sebagai awal perjalanan menuju peristiwa KAA.
Setelah berhasil meraup dukungan dari berbagai negara, akhirnya peristiwa Konferensi Asia Afrika terjadi pada tahun 1955. Dilaksanakan di Bandung dan dihadiri 29 negara, pertemuan KAA tersebut menghasilkan Dasasila Bandung yang berisi pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia. Berkat hasil tersebut, Indonesia menjadi sorotan di mata dunia, hingga lahirlah gerakan Non-Blok pada tahun 1961.
Ali kemudian wafat pada tanggal 13 Maret tahun 1976. Dari berbagai perjalanan dan perjuangan Ali Sastroamidjojo, kita dapat melihat betapa banyak peran dan jasanya untuk Indonesia. Ia menanam jiwa nasionalismenya sejak dini. Prestasi, kepercayaan jabatan, hingga menjadi perdana menteri, Ali sukses menyatukan suara negara-negara Asia Afrika, semua itu diraihnya hingga pantas untuk dijuluki sebagai Pahlawan Nasional.
Sejarah dari tokoh Ali Sastroamidjojo seharusnya mampu menggetarkan jiwa anak bangsa, khususnya generasi muda. Mereka harus punya tekad yang besar dalam memperjuangkan bangsa Indonesia, seperti Ali Sastroamidjojo. Mereka adalah generasi penerus yang akan berperan penting dalam menyejahterakan bangsa, dan berusaha tumbuh menjadi calon Pahlawan Nasional Indonesia selanjutnya.
Penulis : Natasya Septiani Islami/Journativist