Inggit Garnasih (duduk tengah) bersama Bung Karno (berdiri kanan) dan rekan-rekan mereka di Bengkulu pada 1940. Foto: Arsip keluarga Inggit Garnasih.
Di bagian selatan Bandung terdapat sebuah desa yang indah bernama Kamasan. Sebagian besar penduduk di desa Kamasan bekerja sebagai petani. Desa Kamasan terkenal sebagai penghasil perhiasan emas dan perak. Selain itu, desa ini juga terkenal sebagai desa penghasil makanan tradisional seperti opak dan bahan makanan. Desa Kamasan dialiri oleh Sungai Cisangkuy.
Pada 17 Februari 1888, di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, lahir seorang bayi cantik bernama Garnasih dari keluarga petani sederhana yang disegani, Ardjipan dan Amsi. Arjipan menamai putrinya Garnasih dengan harapan agar sang anak memiliki sifat yang menyegarkan dan penuh kasih sayang. Garnasih mempunyai dua saudara yang bernama Natadisastra dan Murtasih. Garnasih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyyah (tingkat SD). Setelah lulus, Garnasih tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, karena jenjang pendidikan tersebut cukup untuk seorang perempuan pribumi yang hidup di tengah diskriminasi kolonial pada akhir abad ke-19.
Garnasih tumbuh dengan wajah yang cantik, itu sebabnya teman-teman Garnasih sangat menyukainya. Karena kecantikannya, Garnasih dianggap seperti bunga yang mekar, selalu dikelilingi oleh serangga jantan yang ingin menghisap sari madunya. Tak sedikit pria yang menunjukan perhatian pada Garnasih dengan memberikan mahugi (hadiah dengan harapan mendapat balasan cinta) berupa uang. Banyak pria yang memberikan satu ringgit (2,5 rupiah) pada Garnasih. Karena hal tersebut, Garnasih mendapat julukan Si Ringgit. Julukan itu yang kemudian menjadi Inggit, kemudian ditempelkan di depan nama Garnasih. Jadilah Inggit Garnasih.
Pada umur 12 tahun, Inggit Garnasih dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang patih di Karesidenan Priangan yang bernama Nata Atmadja. Karena pernikahan mereka berlangsung tanpa cinta, tak lama kemudian pernikahan mereka pupus di tengah jalan.
Setelah berpisah dengan Nata Atmadja, Inggit kembali menjalin cintanya dengan H. Sanoesi dan menikah pada tahun 1916. Sanoesi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan. Selain itu, ia juga aktifis Serikat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebagai seorang istri, Inggit juga ikut serta dalam kegiatan politik suaminya sebagai anggota Serikat Islam bersama perempuan lain di Bandung.
Pernikahan keduanya menjadi awal kehidupan Inggit di dunia politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada Kongres Sarekat Islam (1916), Inggit bertanggung jawab memelihara dapur umum serta mengatur dan menerima undangan semua anggota kongres yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Pada tahun 1921, Sanoesi dan Inggit menerima sepucuk surat dari HOS Tjokroaminoto yang menginginkan menantunya, Sukarno bersekolah di Technische Hoogeschool sekarang (ITB) di Bandung. Untuk itu, Sanoesi dan Inggit memberikan kamar depan di rumah mereka untuk ditinggali Sukarno karena mereka tidak menemukan tempat lain yang layak bagi menantu pimpinan Sarikat Islam tersebut. Kala itu, Sukarno juga mengajak Oetari, istrinya yang merupakan putri Tjokroaminoto untuk tinggal di Bandung.
Saat berada di rumah, Sukarno sering berlatih bersama Inggit karena Sanoesi sering keluar rumah. Intensitas itu memunculkan cinta antara Sukarno dan Ingit. Sukarno kemudian meminta izin kepada H. Sanoesi untuk meminang Inggit.
Atas dasar pemahaman yang mulia dan ketulusan yang murni, H. Sanoesi dengan ikhlas menceraikan Inggit yang dicintainya untuk bersama Sukarno, yang diyakininya suatu saat akan memimpin dan memerdekakan bangsa Indonesia. Setelah itu, Sukarno juga menceraikan istrinya Siti Oetari dan mengembalikannya ke rumah orang tuanya, H.O.S Tjokroaminoto secara baik-baik di Surabaya pada 1922.
Setelah melewati masa indah, Sukarno menikah dengan Inggit pada 24 Maret 1923 di rumah masa kecil Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka tercatat di Soerat Keterangan Kawin No. 1138, tanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen dan dalam bahasa Sunda. Dalam akta nikah, Sukarno yang baru berusia 22 tahun ditulis menjadi 24 tahun, sedangkan usia Ingit dikurangi satu tahun menjadi 35 tahun.
Setelah menikah, Inggit dan Sukarno mengangkat seorang anak dari kakaknya Inggit, Murtasih. Semula anak itu bernama Arawati. Karena sering sakit, maka Sukarno mengganti namanya menjadi Ratna Juami yang kemudian akrab dipanggil Omi.
Sukarno dan Inggit sempat berpindah-pindah rumah hingga akhirnya mereka menempati sebuah rumah di Jalan Ciateul No. 8. Rumah tersebut memiliki tujuh ruangan khusus.
Inggit mendampingi Sukarno baik dalam menyelesaikan sekolahnya maupun saat berpidato di depan publik. Inggit ikut kemana pun Sukarno pergi dan menjadi penerjemah saat suaminya memberikan kursus politik di masyarakat Sunda di pinggiran Kota Bandung.
Rumah mereka sering dikunjungi dan dijadikan tempat berkreasi bagi rekan-rekan seperjuangan Sukarno. Inggit bahkan menyaksikan terbentuknya Algemenee Studieclub yang menginisiasi terbentuknya Partai Nasional Indonesia. Inggit juga menyaksikan pertemuan pemuda yang kemudian tumbuh dari pemogokan pemuda 1928 dan gerakan Sukarno lainnya.
Ngkus, begitu sapaan Inggit untuk Sukarno. Bagi Inggit, Sukarno adalah seorang suami, rekan dalam perjuangan, dan kekasih, begitu pula sebaliknya. Kondisi yang menjadi jiwa Sukarno tetap kokoh dan semangat berjuang melewati jatuh bangun.
Selama di Yogyakarta, Sukarno ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Banceuy di Bandung. Dengan setia, Inggit mengirimkan makanan dan menyeludupkan buku-buku ke dalam penjara. Hasil jerih payahnya itu membuat Sukarno sempat menulis pembelaan berjudul “Indonesia Menggugat” yang dibacakan di hadapan para hakim di Gedung Landraad sekarang (Gedung Indonesia Menggugat). Pembelaan ini mengakibatkan Sukarno dijatuhi hukuman 4 tahun di Penjara Sukamiskin, Bandung.
Pada 1 Agustus 1933, tepat dua tahun setelah Sukarno dibebaskan dari Penjara Sukamiskin (1929-1931), ia ditangkap lagi oleh polisi Belanda atas tindakan subversif karena telah menulis risalah berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka”. Kali ini pemerintah bertindak dengan menginternirnya ke Ende, Flores. Pertengahan Februari 1934, Sukarno dan keluarganya tiba di Ende.
Waktu di Ende, Inggit dan Sukarno mendapatkan musibah yang mengakibatkan duka yang panjang, ibu tercinta dari Inggit, yaitu Amsi meninggal dunia pada 12 Oktober 1935 karena terserang penyakit malaria.
Tiga tahun kemudian Sukarno menderita penyakit yang sama dengan Ibu Amsi. Atas desakan Husni Thamrin, akhirnya pada tahun 1938 Pemerintah Belanda memindahkan Sukarno dan keluarganya ke Bengkulu.
Selama pengasingan di Bengkulu, rumah mereka sering dikunjungi tamu, termasuk keluarga Hassan Din. Ia tidak hanya ingin bersilaturahmi tetapi juga meminta kepada Sukarno untuk membantu sekolah Muhammadiyah sebagai guru dengan menyemangati anaknya Fatma untuk melanjutkan sekolah lebih baik lagi seperti Omi yang mengadakan acara di RK Vakschool.
Sejak itu, Fatma bergabung dengan keluarga Sukarno untuk berangkat ke sekolah bersama Omi. Fatma oleh Inggit diterima dengan senang hati dan dianggap anak serta diperlakukan dengan rasa kasih sayang seorang ibu.
Dari sinilah awal mula terjadinya gejolak rumah tangga Inggit dan Sukarno. Sukarno mulai tertarik dengan Fatma dan akhirnya Sukarno menyampaikan kepada Inggit keinginannya untuk menikah dengan Fatma karena menginginkan keturunan.
Saat itu, Sukarno tidak terlalu memikirkan untuk menceraikan Inggit yang setia menemaninya dalam perjuangan selama 20 tahun melewati suka dan duka, namun Inggit tidak mau dimadu.
Inggit berpegang teguh pada prinsipnya, “ari kudu dicandung mah, cadu!” yang artinya “Oh, dimadu? Kalau mesti dimadu, pantang!” Dengan prinsip itu, Inggit memutuskan untuk diceraikan dan kembali ke Bandung.
Sukarno dan Inggit akhirnya resmi bercerai pada 29 Januari 1943 dengan perjanjian di bawahnya berupa jaminan hidup dan tunjangan yang disaksikan oleh Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H Mas Mansoer. Setelah itu Inggit sementara tinggal di rumah Haji Anda, di Jalan Lengkong Besar.
Sejak saat itu, misi Inggit adalah membawa Sukarno ke gerbang kemerdekaan Indonesia sebagai pemimpin dan bapak bangsa telah usai. Setelah itu, kehidupan Inggit berlanjut dalam kesendirian, berusaha menghidupi dirinya dengan membuat bedak dan jamu.
Di usia senjanya, Inggit Garnasih hidup tenang dan sering dijadikan tempat bertanya dari berbagai kalangan. Inggit selalu berpesan kepada para tamunya bahwa jika dia hidup, dia harus selalu membela bangsa dan selalu menjaga harga dirinya sebagai bangsa yang besar.
Ketika menjadi Presiden Republik Indonesia, Sukarno mengunjungi Inggit Garnasih di rumahnya setelah lebih dari 20 tahun berpisah. Sukarno meminta maaf kepada Inggit atas segala kesalahan yang menyakitinya. Saat itu, Inggit menjawab, “Tidak usah diminta, Ngkus. Ngkus pimpinlah negara dan rakyat dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu”.
Pada tanggal 21 Juni 1970, Inggit mendapat kabar wafatnya Sukarno. Inggit segera berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan diantar Omi. Walaupun kondisi tubuh nya sudah renta dan perjalanan yang dilakukannya cukup jauh dan melelahkan, tetapi Inggit Garnasih tetap menunjukkan keteguhan dan harapan untuk menjenguk Sukarno. Hal ini karena yang meninggal itu bukan saja mantan suaminya atau kawan seperjuangan selama 20 tahun di dalam suka dan duka, melainkan seorang pemimpin dan proklamator Bangsa Indonesia. Ketika Sukarno berbaring di dalam peti, terdengar suara lembutnya dan sayu sambil mengucapkan “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun” yang artinya “Ngkus, ternyata kamu duluan menghadap-Nya, Nggit akan mendoa”.
Pada tahun 1980, atas prakarsa Gubernur Jakarta saat itu Ali Sadikin, Fatmawati meminta bantuan untuk dipertemukan kembali dengan Ibu Inggit dengan maksud meminta maaf atas kejadian yang telah lalu. Inggit terbukti sebagai wanita yang berbudi luhur dengan hati yang besar menyetujui pertemuan itu. Fatmawati bertemu dengan Inggit Garnasih di kediaman Inggit di Bandung dengan ditemani anaknya Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra, serta Ali Sadikin dan istrinya. Pertemuan itu sangat mengharukan, keduanya berpelukan, Fatmawati meminta maaf dengan berlinang air mata, Inggit Garnasih dengan ikhlas dan murah hati memaafkan.
Pada tanggal 13 April 1984, karena usia lanjut, Inggit Garnasih akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 96 tahun. Inggit dimakamkan di Pemakaman Umum PORIB di Jalan Makam Caringin, Bandung. Untuk mengenang jasanya, jalan tempat tinggal Inggit diubah menjadi museum dan jalan itu diberi nama Inggit Garnasih.
Penulis:Farly Mochamad
Editor :JT/ Maulana, Zahra, Muhamad Iqbal Al Hilal