Home / Journativist / Sejarah

Selasa, 14 November 2023 - 18:45 WIB

Jejak Kekayaan Budaya Indonesia: Dari Daratan hingga Lautan, Dari Bhineka Tunggal Ika hingga Banda Neira

Cetakan Antik Banda Neira dengan gunung berapi di sebelah kiri, Kepulauan Maluku, Indonesia.  Cetakan ini berasal dari 'Het MP van Berkestein in Nederlandsch-Indië' oleh M.T.H.  Perelaer, diterbitkan di Leiden.

Cetakan Antik Banda Neira dengan gunung berapi di sebelah kiri, Kepulauan Maluku, Indonesia. Cetakan ini berasal dari 'Het MP van Berkestein in Nederlandsch-Indië' oleh M.T.H. Perelaer, diterbitkan di Leiden.

JT- Indonesia merupakan negara yang memiliki hambaran daratan dan lautan yang sangat luas, membentang dari Sabang hingga Merauke. Keberagaman suku bangsa, bahasa, kepercayaan, adat istiadat, dan budaya menjadikan Indonesia sebagai wadah persatuan yang erat, sesuai dengan filosofi negara kita, Bhineka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi tetap satu.

Keunikan dan ciri khas masing-masing daerah di Indonesia tercermin dalam perbedaan budaya di penjuru negeri. Menurut J.W. Ajawaila, budaya setiap daerah mencerminkan ciri khas budaya kelompok masyarakat lokal. Pandangan lain dari Irwan Abdullah, seorang Guru Besar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa budaya lokal sering kali terikat pada batas fisik dan geografis yang jelas.

Dalam proses perubahan sosial budaya, terdapat kecenderungan lunturnya batas-batas fisik suatu kebudayaan, dipengaruhi oleh percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara luas. Hal ini menyebabkan beberapa budaya lokal kehilangan keasliannya.

Gaya hidup sosial masyarakat Indonesia saat ini mempengaruhi kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap budaya sendiri. Fenomena ini memicu potensi hilang dan punahnya budaya lokal yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Oleh karena itu, perlu diperhatikan agar budaya lokal dapat diturunkan secara berkesinambungan kepada generasi berikutnya. Warisan budaya, terutama yang bersifat takbenda, harus dijaga dan dilestarikan untuk melindungi kekayaan budaya Indonesia.

Menurut Konvensi UNESCO untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda tahun 2003, warisan budaya tak benda, atau Intangible Cultural Heritage, didefinisikan sebagai berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya terkait, yang dianggap sebagai bagian dari warisan budaya oleh masyarakat, kelompok, dan dalam beberapa kasus, perorangan. Warisan budaya takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, terus-menerus diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok sebagai respons terhadap lingkungan sekitarnya, interaksi dengan alam dan sejarah, dan memberikan rasa identitas berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia.

Pada tahun 2019, Indonesia mencatatkan diri memiliki 26 warisan budaya tak benda yang telah diakui oleh UNESCO. Pengakuan ini tidak hanya berasal dari masyarakat Indonesia, melainkan juga berskala global, menjadikan warisan budaya tak benda Indonesia sebagai bagian dari warisan dunia. Menurut data dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017, terdapat 594 warisan budaya tak benda di Indonesia yang dikelola.

Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa warisan budaya takbenda yang diakui oleh UNESCO di Indonesia sepenuhnya terletak di daratan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan warisan budaya takbenda yang berada di lautan Indonesia? Sebagai negara dengan 17.504 pulau yang tersebar di setiap penjuru, seharusnya budaya bahari memiliki akar yang kuat di masyarakat Indonesia. Perlu perhatian khusus untuk memastikan bahwa warisan budaya takbenda di laut juga diakui dan dilestarikan sejajar dengan warisan daratan.

Menurut Daniel Mohammad Rosyid, seorang Guru Besar di Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, beliau menyatakan bahwa kebaharian atau budaya bahari adalah suatu bentuk budaya yang bersifat kreatif, additiv, egaliter, dan memerdekakan. Pada masa penjajahan, bangsa Indonesia mengalami upaya penanaman budaya baru yang bersifat asing dan eksploitatif, yakni budaya benua yang bersifat ekstraktif, eksploitatif, feodal, diskriminatif, dan menjajah.

baca juga  Mochtar Kusumaatmadja, Bapak Hukum Laut Indonesia

Pada tanggal 13 Desember 1957, Indonesia mengeluarkan deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda, yang diinisiasi oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Inti dari deklarasi ini menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, perairan tersebut merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Selain itu, lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin, selama tidak bertentangan dengan atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.

Dengan kelahiran Deklarasi Djuanda yang menegaskan status Indonesia sebagai negara maritim yang diakui oleh dunia, kita memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan kembali budaya bahari dari masa lalu dan mengembangkannya menjadi budaya bahari masa kini yang terintegrasi dengan unsur-unsur modern dan teknologi.

Pesatnya perkembangan teknologi menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia memiliki kapasitas tinggi dalam bidang kelautan. Saat ini, Indonesia telah mampu memproduksi 232 unit kapal, termasuk 86 unit kapal perang. Produksi kapal ini dikelola oleh PT PAL (Penataran Angkatan Laut) Indonesia (Persero), sebuah perusahaan yang merupakan bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan berlokasi di Kota Surabaya.

Tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT PAL Indonesia (Persero) juga telah berhasil mengekspor 45 unit kapal, termasuk kapal perang dan kapal niaga, menunjukkan kemampuan industri kelautan Indonesia dalam menghadapi pasar global. Hal ini tidak hanya menjadi prestasi bagi perusahaan, tetapi juga mencerminkan kemajuan yang signifikan dalam sektor kelautan dan perkapalan Indonesia.

Dengan banyaknya kapal yang diproduksi oleh Indonesia, hal ini mencerminkan peradaban Indonesia pada masa lalu yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana pertukaran niaga, tetapi juga sebagai pembawa gagasan, pengetahuan, seni, dan budaya melalui rute perjalanan yang luas.

Salah satu destinasi perjalanan maritim yang memiliki sejarah kaya terletak di Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Banda Neira memiliki jejak sejarah yang memikat dunia terkait dengan rempah-rempah dan kekayaan bahari Indonesia. Wilayah ini dianggap memiliki harta karun yang paling berharga, bahkan melebihi nilai emas dan berlian.

Harta tersebut adalah pala dan cengkih, dua jenis rempah yang sangat dicari oleh negara-negara di Eropa pada masa itu. Pala dan cengkih awalnya hanya ditemukan di wilayah Maluku, sehingga daerah ini dijuluki sebagai The Spice Island (Pulau Rempah). Jejak sejarah inilah yang memberikan kontribusi besar terhadap reputasi Indonesia sebagai negara maritim yang kaya akan kekayaan alamnya, khususnya rempah-rempah yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia pada masa tersebut.

Rempah-rempah dianggap sangat berharga tidak hanya karena perannya sebagai penambah rasa masakan, tetapi juga karena fungsi medisnya. Pada masa itu, pala menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit pes yang melanda Eropa. Dampaknya, harga pala melambung tinggi, dan daerah penghasil rempah ini menjadi langka.

Banda Neira, salah satu wilayah penghasil pala dan cengkih di Kepulauan Banda, menjadi pemicu Perang Inggris-Belanda pada tahun 1652-1654. Banda Neira diduduki oleh Belanda dan dijaga dengan ketat menggunakan 12 benteng kokoh, menunjukkan betapa strategisnya wilayah ini bagi Belanda.

baca juga  Museum Preanger Penghormatan Untuk CP.Wolff Schoemacker

Pada 31 Juli 1667, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Breda, dimana Pulau Run di ujung barat Pulau Banda Neira diserahkan kepada Belanda, sedangkan Inggris mendapatkan New Amsterdam, yang kini dikenal sebagai Manhattan di New York, Amerika Serikat. Berabad-abad kemudian, Manhattan berkembang menjadi kota metropolitan, sementara Pulau Run terlupakan.

Selain sebagai penghasil pala, Banda Naira juga memainkan peran penting dalam sejarah lahirnya Indonesia. Di Banda Neira, awal mula kolonialisme dimulai, tetapi juga di situlah ide-ide kebangsaan mulai berkembang. Sejarahnya menciptakan jejak yang dalam dalam perjalanan peradaban Indonesia.

Pada periode yang hampir bersamaan, empat tokoh pendiri Indonesia, yaitu Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri, mengalami pengasingan ke Banda Neira. Cerita tentang pengusiran penduduk asli dan kedatangan berbagai bangsa yang kemudian menjadi bagian dari masyarakat Banda Neira menciptakan kerangka interaksi sosial budaya yang kompleks. Pengalaman ini membawa Sutan Sjahrir untuk menggambarkannya sebagai salah satu konsep dalam perumusan Undang-Undang Dasar.

Saat ini, Banda Neira tetap eksis dengan mengandalkan industri perikanan dan pariwisata bawah lautnya. Meskipun sejarahnya melibatkan pala Banda Neira sebagai titik koordinat penting dalam penjelajahan dan penaklukan manusia, saat ini pala tersebut menghadapi kenyataan bahwa nilainya sebagai komoditas utama telah berkurang karena kurangnya inovasi dan kebaruan. Meski demikian, Banda Neira terus bertahan, meskipun denyut nadinya terasa lemah. Upaya untuk memberikan inovasi dan meningkatkan nilai pala sebagai bagian dari identitas budaya bisa menjadi langkah penting untuk mendukung kelangsungan Banda Neira dalam perjalanan sejarah dan masa depannya.

Saat ini, yang tersisa di Banda Neira hanyalah bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu dari perebutan harta, menceritakan kisah darah, keringat, dan air mata. Bangunan-bangunan ini telah menjadi bagian dari warisan budaya yang terlindungi dan memiliki status sebagai cagar budaya.

Beberapa bangunan cagar budaya di Banda Neira yang telah diakui secara nasional meliputi Benteng Belgica (1611), Benteng Nassau (1617), Rumah Pengasingan Bung Hatta (1936-1942), Rumah Pengasingan Dr. Cipto Mangunkusumo (1927 – 1940), dan Istana Mini (1820-1824). Selain itu, terdapat pula bangunan cagar budaya yang diakui oleh Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, seperti Rumah Pengasingan Sutan Sjahrir, Museum Rumah Budaya Neira, Gereja Tua Banda Neira, serta dua benteng di sekitarnya, Benteng Hollandia dan Benteng Revengie.

Banda Neira saat ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi destinasi edukasi dan observasi yang terkait dengan peninggalan jejak rempah dan bahari di Indonesia. Penting untuk memastikan bahwa Banda Neira, beserta warisan budaya takbenda Indonesia, tidak hilang atau lenyap dalam alur waktu. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga, melindungi, dan melestarikan warisan ini. Dengan demikian, kita dapat memperkuat identitas bangsa dan membangun kesejahteraan bersama berdasarkan kekayaan budaya di masa depan.

Penulis:  JT/ Farly Mochamad

Editor   : JT/ Muhamad Iqbal Al Hilal

Share :

Baca Juga

Berita

Diskusi “Protection of Indonesian Citizen Abroad: The Other Side of Indonesian Diplomacy” Bersama Sekdilu Angkatan 41 Kementrian Luar Negeri RI

Berita

Bandung Historical Study Games 2021: A Virtual Tour Museum Challenge

Berita

Arti dan Makna Penting Dasasila Bandung Hasil Komunike Akhir KAA 1955

Sejarah

Museum Preanger Penghormatan Untuk CP.Wolff Schoemacker

Berita

Peringatan 68 Tahun KAA, Sejumlah Pelaku Sejarah Tahun 1955 Hadir Dalam Jamuan Teh Petang

Sejarah

Jarang Orang Tahu, Angklung Pernah Tampil 69 Tahun Silam di Acara Konferensi Asia Afrika

Berita

Inspiring Talkshow Menggali Makna Diplomasi Bersama Kepala Museum Konperensi Asia-Afrika

Berita

AKHIRNYA! PENDAFTARAN BANDUNG HISTORICAL STUDY GAMES 2023 DIBUKA DAN DIPERPANJANG!