Buku “The Bandung Connection”. Foto: Gunung Agung
Terjadinya peristiwa Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955 tidak serta-merta terjadi begitu saja. Satu tahun sebelum peristiwa ini terjadi terdapat peristiwa Konferensi Kolombo pada 28 April – 2 Mei 1954. Konferensi ini diprakarsai oleh Perdana Menteri Ceylon (kini Sri Lanka), Sir John Kotelawa. Dirinya bukan hanya mengundang Indonesia (Ali Sastroamidjojo), tetapi juga mengundang India (Jawaharlal Nehru), Birma (kini Myanmar, U Nu), dan Pakistan (Mohammad Ali).
Pada umumnya masing-masing perwakilan negara menyampaikan permasalahan yang sedang terjadi di kawasan mereka. Namun, dalam kesempatan ini, Indonesia yang diwakili oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo justru mengusulkan untuk diadakannya suatu pertemuan antar bangsa Asia-Afrika guna meningkatkan solidaritas bangsa Asia-Afrika yang tengah berjuang melawan imperialisme.
Namun timbul rasa skeptisme atas usulan tersebut di antara para delegasi yang ada. Hal ini membuat Ali Sastroamidjojo berusaha untuk meyakinkan betapa pentingnya pertemuan antar bangsa Asia-Afrika tersebut. Usulan tersebut pada akhirnya dapat diterima, dan Indonesia dipilih sebagai penyelanggara kegiatan.
Diadakan Ketika Situasi Politik Indonesia Memanas
Kemerdekaan Indonesia nyatanya tidak seperti semanis madu. Bangsa Indonesia justru masih harus berjuang, bahkan bukan hanya melawan bangsa asing yang mencoba kembali menjajah Indonesia, tetapi turut juga melawan bangsanya sendiri.
Pasca kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai gejolak pemberontakan dari berbagai kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, salah satunya adalah pemberontakan DI/TII yang terjadi di wilayah Jawa Barat. Pemberontakan DI/TII yang berlangsung hingga 1962 ini telah menimbulkan kerugian yang besar. Selama masa pemberontakan, mereka kerap membuat terror kepada masyarakat, khususnya di wilayah Jawa Barat.
Meskipun kondisi politik yang penuh gejolak, Indonesia pada akhirnya dapat menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika dengan rasa aman, sehingga menghilangkan skeptisme yang muncul sebelum berlangsungnya konferensi ini.
Penggantian Nama Gedung dan Jalan
Dalam rangka mempersiapkan Konferensi Asia-Afrika yang dihelat pada 1955 berbagai persiapan dilakukan oleh pihak panitia, di antaranya adalah mengganti beberapa nama gedung dan jalan yang akan digunakan selama kegiatan.
Gedung Societeit Concordia yang pada mulanya merupakan tempat nongkrong kaum elite Eropa selama masa Hindia-Belanda, menjelang diadakannya Konferensi Asia-Afrika, tempat ini dipilih sebagai tempat diadakannya konferensi dan diganti namanya menjadi Gedung Merdeka.
Gedung Indische Pension Fondsen yang terletak di Jalan Diponegoro diganti namanya menjadi Gedung Dwi Warna. Gedung ini menjadi tempat Sekretariat Konferensi Asia-Afrika 1955 setelah sebelumnya merupakan tempat penyimpanan dana pensiun semasa masa Hindia-Belanda. Namun, setelah berakhirnya Konferensi Asia-Afrika, gedung ini kini digunakan sebagai Kantor Wilayah Departemen Keuangan Jawa Barat.
Kemudian Jalan Raya Timur yang melintasi tempat konferensi diganti namanya menjadi Jalan Asia-Afrika. Terdapat fakta menarik mengenai jalan ini. Jalan ini merupakan bagian dari Jalan Raya Pos yang dibuat semasa Gubernur Jenderal H.W. Daendels. dan di salah satu ruas jalan ini berdiri pula monument Titik Nol Kilometer Kota Bandung.
‘Heboh’ di Ciumbuleuit
Satu hari menjelang diadakannya Konferensi Asia-Afrika para tamu delegasi bersama stafnya melakukan ‘pertemuan pendahuluan’ secara informal di salah satu ruang Sekretariat Gedung Merdeka. Pertemuan ini diinisiasi oleh PM India, Nehru.
Pertemuan informal ini membahas mengenai tata tertib yang harus dilaksanakan pada saat kegiatan berlangsung nanti. PM Nehru mengusulkan agar tata tertib hendaknya lebih luwes, tidak kaku. Pidato-pidato pembuka yang akan disampaikan oleh para ketua delegasi juga diusulkan untuk tidak dilakukan, sebab menguras waktu.
Pertemuan informal tersebut sejatinya berjalan lancar. Namun, ketika para delegasi telah usai menyantap jamuan di Ciumbuleuit, delegasi Pakistan yang kebetulan tidak hadir dalam pertemuan informal melayangkan protes terhadap hasil pertemuan tersebut. PM Pakistan Moh. Ali merasa ‘dilangkahi’.
Dirinya marah. Sebagai negara sponsor, delegasi Pakistan seolah tidak diajak dalam penentuan arah konferensi mendatang. Dinginnya cuaca kala itu tidak mampu mendinginkan amarah delegasi Pakistan. PM Ali Sastroamidjojo lantas berusaha untuk menenangkan mereka dengan menjelaskan bahwa hasil dari pertemuan itu tidaklah mengikat dan akan dibahas dalam sidang pleno esok hari.
Esoknya, sidang pleno dimulai. Namun, harus diskor guna diadakannya pertemuan informal sekali lagi bersama para peserta untuk membahas tata tertib. Setelah perdebatan antara pihak yang setuju dengan tata tertib hasil pertemuan di hari Minggu dengan pihak yang kontra, tata tertib yang singkat pada akhirnya dapat dibuat. Sebuah tata tertib hasil musyawarah yang menjadi kunci sukses Konferensi Asia-Afrika.
Itulah fakta-fakta menarik yang di balik suksesnya Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung yang wajib diketahui.
Penulis: Bambang (Global Literasi)
Editor: Natasya Septiani