SMKAA- Hotel Swarha Islamic atau dikenal Swarha merupakan sebuah hotel yang berdekatan dengan Gedung Societeit Corcondia dan sekaligus menjadi saksi bisu terjadinya Konferensi Asia- Afrika. Hotal Swarha Islamic sendiri didirikan oleh Saudagar asal Timur Tengah yang bernama Said Wiratmana Abdurrachman Hassan dan ddiirikan pada tahun 1930-an. Menurut National Geographic, Gedung Swarha apabila melewati Jalan Asia-Afrika ke arah Alun-Alun, kita pasti menjumpai sebuah gedung bertingkat lawas di sudut jalan: Swarha. Kata orang-orang tua, gedung ini dibangun sekitar 1930-an oleh seorang arsitek Belanda. Fungsinya sebagai hotel dan toko.
Lalu menurut, Mary Lou Van Den Berg yang berjudul A srudy on low tech limate strategies in colonial buildings in Bandung menyebut sangat sedikit yang diketahui tentang bangunan dan arsitek. Kemungkinan besar itu dibangun pada awal 1950-an dalam gaya ‘Het Nieuwe Bouwen’,terinspirasi oleh arsitektur ramping Albert Aalbers dan diarsiteki oleh Wolff Schoemaker.
Fungsi aslinya adalah hotel dengan toko-toko di lantai dasar. Hotel dirancang untuk mengakomodasi jurnalis yang menghadiri Konferensi Asia-Afrika, tahun 1955, alasan lainnya karena letaknya yang berseberangan Kantor Pos, sehingga memudahkan pengiriman berita dan pernyataan konferensi di seluruh dunia. Saat ini, sebagian besar hotel telah kosong tiga puluh tahun dan tersisa lantai 1 nya saja dipergunakan sebagai tempat makan dan toko pakaian.
Pada tahun 1955, Bandung telah terjadinya sebuah peristiwa pergerakan perdamaian serta deklarasinya Dasasila Bandung yang disebut Konferensi Asia Afrika. Saat itu, Hotel Swarha dijadikan sebagai Hotel untuk para Jurnalis yang ingin meliputi KAA tersebut serta menurut Rosihan Anwar dalam buku Petite Histoire Indonesia menyebut para wartawan menginap di sebuah hotel bertingkat yang terletak di depan kantor pos. Hotel tersebut bernama Swarha.
Kala itu, para wartawan memang menginap di Hotel Swarha karena Hotel Savoy Homman dan Hotel Preanger seluruh kamarnya sudah penuh dipakai para delegasi peserta KAA. Panitia KAA saat itu memang secara khusus menyediakan Hotel Swarha sebagai tempat menginapnya para wartawan. Pertimbangannya, Hotel Swarha yang terletak di di Jalan Raya Timur (sekarang Jalan Asia Afrika/samping Mesjid Agung) itu berada di seberang Kantor Pos Besar, sehingga memudahkan para wartawan mengirimkan berita lewat telegram.
Lokasi Hotel Swarha cukup menguntungkan bagi para wartawan, karena terletak tidak jauh dari dari Gedung Merdeka. Jadi, tidak diperlukan ongkos khusus untuk mencapai lokasi konferensi, cukup dengan berjalan kaki. Rosihan dalam catatannya menyebutkan bahwa Hotel Swarha sebagai hotel yang serba sederhana.
Hotel ini berlantai empat; lantai pertama tidak memiliki kamar, sementara di lantai kedua hingga keempat, masing-masing memiliki delapan kamar. nama Swarha sendiri diambil dari nama sang pemilik gedung itu. Hotel Swarha benar-benar menjadi markas besar bagi para wartawan peliput KAA, baik dalam dan luar negeri. Selain Rosihan Anwar yang menginap di hotel tersebut, ada pula Mochtar Lubis wartawan yang pernah dipenjara oleh Pemerintah Orde Lama.
Mochtar pernah bekerja di Kantor Berita Antara, lalu mendirikan surat kabar Indonesia Raya tahun 1949. Ia juga terkenal sebagai koresponden perang ketika pecah pertempuran Korea Utara dan Korea Selatan pada 1950. Di Hotel ini pula sastrawan penulis novel Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana menginap, bersama Sudjatmoko, dan juga Syahrir.
Selain tokoh-tokoh pers nasional, beberapa tokoh pers terkemuka di dunia pun turut menginap di Hotel Swarha. Ada Arthur Conte, seorang wartwan terkemuka asal Prancis. Conte begitu dikenal karena sempat menjabat sebagai Presiden Majelis Uni-Eropa tentang Peradaban Barat. Tak kalah dengan Rosihan Anwar, Conte pun menuliskan pengalamannya selama meliput KAA dalam sebuah buku yang berjudul Bandoeng, Tournat de l’Histoire (Bandung, Titik Balik dalam Sejarah). Conte mengisahkan, para wartawan tinggal di sebuah markas yang sangat sempit. Markas yang dimaksud itu tidak lain adalah Hotel Swarha.
Ada pula wartawan berdarah Afrika-Amerika yang turut bermarkas di Hotel Swarha, ia adalah Richard Wright. Selain sebagai wartawan, Wright justru dikenal sebagai penulis kawakan asal Amerika yang beberapa kali dicalonkan sebagai pemenang Nobel Sastra. Ia merupakan salah satu penulis yang concern dengan masalah rasialisme. Lewat novelnya yang berjudul Uncle Tom’s Cabin dan Native Son, Wright mencoba menggambarkan realitas sosial dan diskriminasi yang terjadi di Amerika. Isu-isu ini tentu saja sejalan dengan visi KAA yang mencoba menegakkan nilai-nilai kemerdekaan secara universal.
Seperti pula Rosihan Anwar dan Arthur Conte, Richard Wright pun menuliskan pengalamannya selama meliput KAA dalam bukunya yang berjudul The Color Curtain, A Report on The Bandung Conference yang terbit pada 1956. Buku-buku yang ditulis oleh para wartawan itu, menggambarkan betapa mereka, para wartawan, bukan sekedar menjalankan tugas, namun mereka pun memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pendokumentasian sejarah; sejarah yang boleh jadi turut membentuk dan mempengaruhi perkembangan negara-negara di dunia.
Namun, penutupan Gedung Hotel Swarha tersebut sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan alasannya mengapa dan fakta unik dari Swarha ini salah satu keturunanya pernah menjabat sebagai Bupati Karawang 2016-2020 yakni Cellica Nurrachadiana.
Penulis: Edukator/ Senore Arthomy Amadeus
Editor : JT/Muhamad Iqbal Alhilal